Pengamat: Moeldoko Harusnya Dipecat karena Menjadi Beban KSP
Peneliti dan pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, kemelut dalam internal partai politik, yang memunculkan dualisme kepemimpinan dianggap sudah biasa. PDI, PKB, Golkar, PPP, Hanura, Partai Karya pernah mengalami. Sekarang kejadian serupa berulang dan menimpa Partai Demokrat.
Tapi kemelut dalam Partai Demokrat (PD) menjadi luar biasa karena melibatkan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Jendral (pur) Moeldoko. Mantan Panglima TNI itu ditunjuk menjadi Ketua Umum Partai Demokrat dalam KLB ilegal di Deli Serdang Sumatera Utara.Siti Zuhroh menyebut semua orang tahu, posisi Moeldoko berada di ring satu yang dekat dengan Presiden Joko Widodo.
"Masuknya Moeldoko dalam kemelut PD menjadi beban pemerintahan Jokowi. Bila kepala KSP berniat ingin berpolitik, harus elegan mundur dari KSP dan keluar dari istana supaya tidak menjadi preseden buruk di lembaga Kepresidenan," kata Siti Zuhro saat dihubungi Ngopibareng.id Senin 8 Maret 2010.
Menurut Guru Besar LIPI tersebut, masyarakat saat ini sudah lelah akibat pandemi Covid-19 yang berdampak pada ekonomi, bertambahnya angka pengangguran dan kemiskinan, serta terganggunya proses belajar mengajar.
"Para elit seharusnya sadar dan menahan diri, jangan memberi tontonan yang tidak baik pada masyarakat," pesannya.
Sementara anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat secara terpisah menegaskan bahwa KLB di Deli Serdang ilegal dan menabrak AD/ART Partai, yang sudah disetujui oleh Menkum HAM.
"Untuk menguji KLB yang memilih Moeldoko menjadi Ketua Umum PD sah atau ilegal gampang, buka saja AD/ART Partai Demokrat yang sudah disahkan dalam Kongres Partai Demokrat. Proses dan peserta KLB sudah sesuai dengan adAD/ART Partai Demokrat atau tidak," kata Andi Malarangeng, Sabtu, 8 Maret 2021.
Menko Polhukam Mahfud MD sebelumnya menegaskan, sampai sekarang pemerintah tetap mengakui Ketua Umum Partai Demokrat adalah Agus Harimurti Yudoyono (AHY) dan Ketua Majelis Tinggi partai Susilo Bambang Yudoyono. Selain itu pemerintah mengangap tidak ada KLB Partai Demokrat, karena belum ada laporan ada KLB.
"Saya sudah menyampaikan kepada Menkum HAM Yasona Laoly, bila ada laporan KLB, agar berpegang pada aturan hukum dan bersikap netral," kata Mahfud MD saat dihubungi Ngopibareng.id selepas salat subuh Minggu 7 Maret 2021.
Mantan Ketua Mahkamah Kondtitusi (MK) menyampaikan bila ada laporan tentang hasil KLB, pemerintah tidak serta akan menerima dan mengakuinya. Pemerintah akan mempelajari dulu aturan mainnya. Sudah susai dengan anggaran dasar dan rumah tangga (AD/ART) Partai Demokrat yang ada di pemerintah atau tidak. Akan di cek siapa saja pesertanya.
"Pokoknya akan kami teliti semua, KLB maupun peserta KLB sudah sesuai dengan aturan partai apa tidak, simpel saja," katanya.
Tentang desakan supaya Moeldoko yang ditunjuk sebagai Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang, dipecat dari Kepala Kantor Stat Presiden (KSP), Mahfud menegaskan itu diluar kewenangan Menko Polhukam, tapi hak prerogatif Presiden.
"Kepala KSP Moeldoko adalah anak buah Presiden, maka keputusannya ada pada hak prerogatif Presiden, yang dilundungi oleh UUD 1945 dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun," kata Mahfud MD.
Artinya Moeldoko diberhentikan atau tidak itu urusan Presiden.
Ketika ditanya mengapa pemerintah atau aparat keamanan tidak membubarkan KLB PD di Deli Serdang, sehingga terkesan pemerintah melakukan pembiaran dan merestui adan KLB yang dianggap ilegal dan abal abal, Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu mengatakan, pemerintah terikat oleh UU No 9 tahun 1998 tentang kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum.
Undang-undang itu menurut Mahfud antara lain menyebutkan:
a. Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia.
b. Bahwa kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
c. bahwa untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya suasana yang aman, tertib,dan damai;
d. bahwa hak menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d, perlu dibentuk Undang-undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
"Karena adanya UU ini Pemerintah tidak bisa masuk atau melarang kumpul kumpul kader partai. Sama dengan yang dilakukan oleh pemetintahan Megawati, SBY terkait dualisme kepengurusan PKB. sekarang kasus serupa juga dialami Presiden Jokowi,," ujar Mahfud.
Tapi, katanya, sikap Pemerintah simpel saja, karena ini urusan internal partai, yang jadi acuhan adalah AD/ART partai itu sendiri.
Pakar Hukum tata negara, Reffly Harun, sebelumnya mengatakan, Presiden Joko Widodo harus memecat Moeldoko dari jabatan Kepala Kantor Sraf Presiden (KSP). Moeldoko yang bersedia dipilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat (PD) melalui KLB ilegal di Deli Serdang merupakan perbuatan yang tidak terpuji, melanggar fatsun politik dan merusak demokrasi. Apalagi Moeldoko merupakan orang luar, bukan kader dan anggota Partai Demokrat.