Ketua PGRI: Guru Ingin Berhenti karena Takut Dikriminalisasi
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Unifah Rosyidi mendapati puluhan kasus kriminalisasi guru setiap tahunnya. Anehnya, kasus itu buntut dari tindakan tegas guru dalam mendidik muridnya.
Buntut tindakan disiplin itu banyak yang berakhir di kepolisian. Namun bukan untuk mediasi, tetapi malah sang guru yang dinyatakan bersalah atas pendisiplinan itu.
Seingat Unifah Rosyidi, ada sebanyak 120 guru mengeluhkan pemberitaan di media sosial yang dianggap berlebihan, tanpa melihat duduk persoalan yang sebenarnya.
"Saya minta pemberitaan tentang kekerasan guru terhadap murid, dan sesama murid hendaknya proporsianal," kata Unifah Rosyidi kepada Ngopibareng.id, lewat sambungan telepon, pada Sabtu 15 Februari 2020.
Menurut Unifah Rosyidi, dirinya hanya bisa menasehati kepada para guru yang ingin alih profesei. Dia berjanji akan mencarikan solusi agar guru nyaman selama menjalankan proses belajar mengajar.
“Saya pribadi tidak setuju istilah kekerasan dipergunakan di lingkungan sekolah. Karena prisipnya kekerasan tidak boleh terjadi sekolah dalam bentuk tindakan maupun ucapan.
Tapi masyarakat diminta jangan mudah terprovokasi dengan isu kekerasan di sekolah. Semua harus dilihat dulu secara proporsional,” tuturnya.
Unifah Rosyidi menghormati prinsip kekerasan harus dijauhkan dari dunia pendidikan. Tapi untuk memaknai kekerasan harus hati-hati, harus dilihat dengan hati dan pikiran yang jernih.
“Jangan mudah menyalahkan guru, sehingga kesannya guru itu seperti monster,” sambung dia.
Unifah Rosyidi lalu mencontohkan, ada kejadian seorang siswa disuruh berdiri di depan kelas karena bermain ponsel saat jam pelajaran. Ironisnya, tindakan sang guru justru menjadi viral di media sosial.
"Orang yang manyebarkan gambar sang guru di media sosial membumbuinya dengan narasi yang menyudutkan guru. Kesannya sangat membenci guru,” tuturnya.
Unifah Rosyidi menegaskan, jika siswa mendapat teguran dari guru karena memang berprilaku buruk sebaiknya tidak dituding melakukan kekerasan terhadap siswa.
“Guru melakukan hal itu untuk nendorong anak didiknya supaya belajar lebih baik, bukan untuk menyakiti,” pesannya.
Seperti yang ramai diberitakan dalam dua pekan terakhir, dunia pendidikan dibuat gaduh oleh kasus kekerasan sesama siswa di Malang, Jawa Timur, dan Purworejo, Jawa tengah. Selain itu juga ada seorang guru di SMA Negeri Bekasi, Jawa Barat, dilaporkan telah melakukan kekerasan terhadap anak didiknya.
Menanggapi permasalahan di dunia pendidikan, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, Kak Seto mengatakan, peran orangtua untuk mencegah terjadinya kekerasan anak sangat penting. “Jangan diserahkan semuanya pada guru. Karena waktu anak di rumah lebih banyak dibanding di sekolah,” tuturnya.
Kak Seto juga menyesalkan pengambil gambar waktu melihat kekerasan di sekolah kemudian menyebarkan ke media sosial. "Pengambilan gambar kemudian disebarkan di media sosial sebenarnya sumber keributan tersebut," sambung dia.
Justru rekaman video itu menunjukkan tidak adanya tindakan pencegahan ketika seseorang melihat aksi kekerasan.
“Seharusnya dicegah, bukan malah direkam kemudian diviralkan. Siswa yang merekam tersebut bisa salakan, karena membiarkan temannya dianiaya,” pungkas Kak Seto.
Advertisement