Ketua PBNU: Ucapkan Selamat Natal Tidak Menabrak Akidah
Apakah umat Islam boleh mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani? Pernyataan seperti selalu muncul setiap menjelang perayaan Natal. Dan jawabannya berbeda beda. Ada yang mengatakan boleh ada yang tidak boleh.
Ketua PBNU Robikin Emhas termasuk orang yang memperbolehkan dengan beberapa catatan. Menurut Robikin, ada dua hal yang perlu ditekankan. Pertama soal prinsip kebhinekaan. Dalam konsep kebhinekaan yang menjadi pilar kebangsaan, kemajemukan dalam masyarakat justru adalah sumber kekuatan utama bangsa Indonesia. Ini dulu frame dasar yang harus diinsyafi.
Kedua, terkait prinsip toleransi. Hidup di tengah masyarakat yang majemuk mensyaratkan pentingnya sikap lemah lembut, berlaku baik, saling menghormati, saling menghargai. Sikap yang mengedepankan pendekatan kemanusiaan semacam ini kemudian yang dikonsepsikan sebagai sikap toleransi.
"Kalau belajar sejarah mengenai akar kebudayaan bangsa Indonesia, saya bisa katakan toleransi merupakan bagian inheren dalam jati diri bangsa Indonesia. Kehidupannya ada dalam jiwa Bhinneka Tunggal Ika. Berpuluh bahkan beratus tahun sebelum Indonesia merdeka, bangsa kita sudah beragam suku, budaya, dan agamanya. Tetapi para leluhur kita bisa hidup rukun, damai, dan saling welas asih sebagai sesama anak bangsa," kata staf khusus Wapres Ma'ruf Amin dalam keterangan tertulis yang diterima ngopibareng.id Minggu 22 Desember 2019.
Kenapa sikap toleran demikian terpatri dalam jati diri bangsa Indonesia? Menurut Robikin, toleransi sesungguhnya juga bagian inheren dari ajaran agama. Islam mengenal konsep tasamuh yang juga sering diterjemahkan sebagai sikap toleransi.
"Secara umum sebagai sebuah ajaran, sikap toleran itu ada penjelasannya. Ada petunjuk-petunjuknya. Dalam hidup bermasyarakat orang harus sama-sama berlaku baik, lemah lembut, saling pemaaf, menghargai, dan seterusnya. Tetapi bagaimana berlaku baik itu? Bagaimana bersikap lemah lembut itu? Agama kan memberikan panduannya. Nah, dari sini saya ingin masuk ke pertanyaan seputar Natal," kata Robikin.
Menurutnya, prinsip umum yang tidak boleh dilangkahi dalam menerapkan prinsip toleransi sudah jelas yaitu Lakum diinukum wa liya diin. Bagi kalian agama kalian, bagi kami agama kami. Kalau sudah menyangkut akidah tidak boleh dipertukarkan.
"Dulu suatu ketika, beberapa orang kafir Quraisy menemui Nabi. Mereka menawarkan ide untuk saling bertoleransi kepada Nabi. Mereka berkata, "Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya. Maka turunlah ayat Qul yaa ayyuhal kaafiruun. Laa a’budu maa ta’buduun” dan seterusnya," kata Robikin.
Jadi, kata Robikin, toleransi itu dimensinya ukhuwah basyariyah, persaudaraan kemanusiaan. Bukan ranah teologis. Kita cukup dengan menghargai apa yang umat agama lain lakukan dengan membiarkannya dan tidak berbuat keributan.
"Biarkanlah mereka lakukan apa yang mereka yakini, sedang kita fokus pada apa yang kita yakini. Itu intinya," katanya.
Terkait ucapan natal, lanjut Robikin, ulama-ulama di Indonesia memiliki beberapa pendapat. Ada yang melarang karena khawatir mengganggu akidah, ada yang membolehkan dengan pengertian ucapan natal sebagai bagian dari kesadaran bermuamalah, sekadar hormat kepada kawan atau berempati kepada sesama warga bangsa.
"Itu dimensinya ukhuwah wathaniyah. Kalau dalam dimensi itu, menyampaikan ucapan natal, saya kira tidak mengganggu akidah kita. Dalam konteks ini saya setuju pendapat ulama asal Mesir Syekh Yusuf Qaradhawi. Pendapat beliau, boleh atau tidaknya ucapan selamat natal dari Muslim kepada Nasrani itu dikembalikan kepada niatnya. Kalau niatnya hanya untuk menghormati atau berempati kepada teman yang nasrani, maka tidak masalah. Indonesia ini kan negara majemuk. Apalagi ucapan natal itu dimaksudkan sebagai ungkapan kegembiraan atas kelahiran Nabi Isa a.s. sebagai rasul," katanya.
Nah, dengan panduan dan batasan seperti itu, apakah momentum natal bisa menjadi ajang untuk mempererat dan mengikat kembali tali kebangsaan kita? Robikin menjawab pasti. Akan tetapi, tentu tidak sebatas ucapan selamat natal saja.
"Saya lebih setuju dan mengimbau kepada kita semua, jauh lebih bernilai sebenarnya apabila ada kemauan bersama diantara para pemeluk agama yang berbeda untuk membuka ruang dialog antar umat. Ruang-ruang dialogis seperti ini saya kira penting untuk terus menguatkan tali persatuan kita. Meskipun berbeda keyakinan, bukankah kita tetap bersaudara dalam kemanusiaan," ujar Ketua PBNU tersebut.