Ketjap Jawa, Coba Mengaduk Citarasa Masa Lalu
Banyak merk kecap beredar di pasaran. Mulai produk home industri hingga pabrikan raksasa.
Tapi tidak ada citarasa kecap yang sama. Ada yang dominan muuaanis ada pula yang manis biasa. Ada yang asin, campuran manis asin, hingga yang sedikit rasa kecut bahkan asam.
Itulah dunia kecap, dan ada brand Ketjap Jawa muncul melengkapi serangkaian citarasa itu.
Dari utara, di Tuban muncul brand Kecap Laron. Di Jombang muncul Kecap Bader. Dari Kediri muncul Kecap Sawi. Di Surabaya ada Kecap Liem.
Di pasar-pasar tradisional bertebaran bermacam merk kecap; Kecap Ibu Ani, Kecap SK, Kecap Jeruk, Kecap Bumbu Sate, Kecap Gandaria, Kecap Piring Lombok, Kecap Belibis, yang pabrikan besar muncul Kecap Bangau, Sedaaap, ABC, dan seterusnya yang jumlahnya bisa mencapai ratusan judul.
Berangkat dari keyakinan bahwa tidak ada kecap dengan citarasa yang sama itulah beberapa anak muda dari Kelompok Usaha Bersama (KUB) Kabupaten Malang mencoba “bermain” di ranah per-kecap-an.
Lalu muncul brand Ketjap Jawa meramaikan dan menyegarkan pasaran kecap. Dua orang dari beberapa tokoh anak muda yang membidani lahirnya brand Ketjap Jawa ini adalah Rohmat Ady Hansah dan Dwi Prihartono.
Dua orang ini getol mengusung kecap dengan citarasa yang berbeda, yaitu khas Malang-an. Konon, menurut mereka, malang itu dulunya punya kecap khas dengan citarasa agak kecut.
Maka dalam adonan bumbu dasar kecap itu si koki Ketjap Jawa menyertakan juga daun jeruk purut selain bumbu lain seperti batangan sere, daun salam, bunga pekak, laos, gula merah dan tentu saja kedelai.
Menurut Rohmat Hansah, hingga sekarang ini kecap sudah mengalami pergeseran rasa yang jauh sekali. Dulu, di masa kecil, kata dia, yang namanya kecap itu sangat lezat.
Jadi bukan sekadar bagian dari bumbu masak. Karena itu bumbu-bumbu dan bahan kecap yang disiapkan itu pastilah bahan yang berkualitas. Tidak aneh-aneh dan tidak pakai penyedap rasa.
Bergesernya citarasa kecap masa kini lebih karena dipakainya bahan-bahan yang tidak berkualitas lalu dicampur dengan bermacam bumbu penyedap.
“Nah Ketjap Jawa mencoba tidak seperti itu. Waktu saya kecil kecap itu rasanya nikmat dan ngangeni sekali. Maka kita mau memproduksi kecap dengan citarasa masa lalu yang sangat nikmat itu. Meski kita masih merangkak, baru muncul 2013 lalu, dan baru 50-100 liter kapasitas produksi, kita mencoba mencari dan menyeleksi bahan-bahan berkualitas agar tercipta citarasa kecap yang benar-benar mampu mengedukasi bahwa kecap bukan hanya sekadar bumbu masak,” terang Rohmat.
Senada dengan Rohmat, Dwi Prihartono yang merangkap sebagai koki, menyebut, Ketjap Jawa diciptakan antara lain demi kesehatan juga.
Tidak adanya bahan kimia sebagai penyedap rasa, penguat rasa, adalah langkah berani mengingat di zaman sekarang sangat sulit untuk mendapatkan bahan-bahan alami yang berkualitas. “Wong kedelai saja 98 persen impor kok,” sergahnya.
Maka, produksi kita, lanjut Dwi Hartono, berjuang untuk mendapatkan bahan-bahan dengan kadungan yang istimewa. Misalnya, kita menggadeng petani dari Madiun juga Pasuruan untuk mendapatkan bahan baku kedelai lokal yang berkualitas.
Juga gula merah dengan kualitas yang baik. Meski secara fisik kedelai impor terlihat sangat bagus, tim produksi Ketjap Jawa lebih percaya kepada petani-petani sendiri yang menghasilkan kedelai.
Memang, kata dua tokoh muda di dunia perkecapan ini, dengan kemampuan kapital yang tidak besar seperti ini akan sulit bagi Ketjap Jawa untuk melakukan penetrasi pasar secara besar-besaran.
Namun minimal, Ketjap Jawa, sudah melakukan upaya yang benar yaitu tak kenal lelah mengenalkan produk kecap sehat dengan beragam cara. Salah satunya adalah mengikuti beragam even-even pameran produk UMKM.
“Kita tidak punya duit banyak, jadi pasti belum bisa beriklan di media-media profesional. Baik media cetak maupun elektronik. Tapi itu bukan soal penting, asal produk kita berkualitas pasti akan ada angin segar mengiringinya. Mengikuti pameran-pameran produk juga tak kalah bagusnya, sebab konsumen pasti akan mencari informasi terkait Ketjap Jawa itu sendiri. Lezatnya seperti apa. Enaknya seperti apa. Tagline di kemasan yang berbunyi Rasa Tradisional Indonesia itu terbukti seperti apa, dan seterusnya,” yakin Rohmat.
Selain ajang pameran produk yang rajin diikuti, lanjut dia, Ketjap Jawa juga banyak memanfaatkan perkembangan produk teknologi informasi seperti website, blog, WA, BBM, dan media sosial lainnya.
Terakhir, Ketjap Jawa juga mencoba bergabung dengan CTH (Cooperatif Trading House) yang menjadi kepanjangan tangan sebuah dinas milik Provinsi Jawa Timur untuk menjangkau market yang lebih lebar. widikamidi