Ketika Universitas Brawijaya Beli Bawang Merah Sehat Petani
Menjadikan laboratorium sekaligus membeli hasilnya. Itulah yang dilakukan Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan (HPT) Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (UB).
Pagi itu, saya dikagetkan telpon Kepala Jurusan HPT Luqman Qurata Aini. Ia menyampaikan keinginannya untuk membeli bawang merah sehat hasil uji coba Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya (P4S) Ngudi Makmur.
Bawang merah sehat hasil tanam pertama pola tanam tanpa bahan kimia ini akan dijual di lapak atau depo milik Universitas Brawijaya. "Ini sebagai bentuk apresiasi dan kerjasama universitas dengan petani," kata Luqman.
Bawang merah sehat ini merupakan hasil budi daya petani Gogodeso, Kanigoro, Blitar. Ini adalah komoditas baru yang diujicoba setelah lama Fakultas Pertanian UB mengedukasi petani di desa tersebut.
Sebelumnya, universitas kenamaan di Malang itu melatih petani desa pola tanam tanpa kimia untuk tanaman padi. Saat itu, ada kerjasama khusus dengan pemerintahan desa. Nah, sejak tahun lalu dikembangkan untuk komoditas bawang merah.
P4S Ngudi Makmur berdiri sejak tahun 2012. Kerjasama dengan UB dengan membentuk Sekolah Lapang Pertanian untuk Komoditas Padi. Melalui sekopah lapang ini telah berhasil diproduksi berbagai jenis pupuk dari agen hayati non kimia.
Seperti diketahui, kesadaran konsumen pertanian untuk komoditas sehat non kimia makin hari makin besar. Namun, kesadaran petani untuk menghasilkan komoditas seperti itu masih minim. Karena itulah, pembinaan petani melalui P4S Ngudi Makmur dilakukan.
Rupanya, Fakultas Pertanian UB tak hanya memiliki perhatian terhadap membina kesadaran petani untuk pola tanam sehat non kimia. Pembelian hasil komoditas pertanian non kimia ini merupakan langkah bagus dalam menyemangati petani.
Problem inovasi di dunia pertanian memang tidak hanya masalah on farmnya. Tapi juga persoalan paska panen seperti penjualan hasil pertanian yang menggunakan sistem pola tanam dengan tanpa penggunaan bahan-bahan kimia.
Memang telah banyak petani yang menggunakan pola tanam organik tanpa kimia. Namun untuk bisa menjual komoditasnya dengan label organik membutuhkan perjuangan keras. Diperlukan sertifikat komoditas organik yang untuk memperolehnya tidak gampang.
Karena itu, setiap upaya mendorong petani untuk mengubah pola tanam tanpa kimia harus disertai dengan insentif untuk membantu penjualannya. Keterlibatan kampus untuk membantu sampai paska panen merupakan langkah yang amat strategis.
Upaya membangun sumberdaya petani pedesaan yang trampil dengan pola tanam non kimia tak hanya dilakukan bersama dengan UB. Tapi juga dengan Dinas Pertanian Kabupaten Blitar.
Kerjasama dengan HPT Fakultas Pertanian UB menghasilkan rintisan PPAH (Pusat Pelayanan Agen Hayati) yang dioperasionalkan BUMDes Sejahtera dan Gapoktan. Bahkan, agan hayatinya pernah diikutkan Event Archex (Archipelago Expedition) di Kuala Lumpur Malaysia.
Tampaknya, jejaring antara kmpus perguruan tinggi dengan petani perlu berlanjut. Tidak hanya dalam membina pola tanam komoditas pertanian yang sehat. Tapi juga jejaring dalam memasarkan hasil pertanian sehat. (choirul anam)