Ketika Tokoh Bangsa Turun Gunung Kembali
Saya merasa adem di Jakarta kemarin. Saat menghadiri Forum Titik Temu yang digagas sejumlah yayasan dan komunitas di Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, kemarin.
Pertemuan yang dihadiri sejumlah tokoh bangsa dan tokoh lintas agama ini diprakarsai empat pihak. Mereka adalah Nurcholish Madjid Society, Wahid Foundation, Maarif Institute, dan Gusdurian.
Mereka ini dikenal sebagai yayasan dan komunitas yang bergerak dalam masalah-masalah kebangsaan dan keagamaan. Mereka mendedikasikan dirinya untuk merawat ke-Indonesi-an dan demokrasi.
Sejumlah tokoh hadir. Mereka antara lain Ny Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Omi Komariah Madjid, Prof Dr A Syafi'i Ma'arif, mantan Wapres Jenderal Purn TNI Try Sutrisno, Prof Dr Mahfudz MD.
Juga ada para akademisi, kiai dan tokoh dari semua agama. Mereka mendiskusikan berbagai persoalan agama dan masalah yang dihadapi bangsa Indonesia.
Selain Mahfudz MD, ada akademiisi seperti Komarudin Hidayat dan Yudi Latief. Juga ada kiai muda seperti Ishomudin dan Ulil Absar Abdala. Juga budayawan Erros Djarot.
Juga hadir salah satu orang terkaya di Indonesia yang juga bos Garuda Food Sudhamek AWS. Ada juga bos Samator Arif Harsono yang hadir sebagai tokoh Walubi.
Saya merasakan situasi yang sangat berbeda dengan hiruk pikuk kontestasi jelang pemilu sekarang. Forum ini menjadi semacam oase di tengah situasi saling caci dan fitnah demi kepentingan politik saat ini.
Inilah pertemuan para tokoh dengan latar belakang dan agama yang saling berbeda. Tapi semuanya membicarakan persamaan-persamaan antar mereka. Bukan memperbincangkan perbedaan.
Ada sejumlah kiai, bikhu, pendeta, pastur, dan tokoh-tokoh agama lainnya. Mereka saling memberi pandangan bagaimana merajut kembali kebangsaan dengan mengedepankan keberagamaan dan keberagaman.
Ada dua hal yang ingin direspon dari Forum Titik Temu ini. Pertama Dokumen Persaudaraan yang dihasilkan dari pertemuan Imam Besar Al Azhar, Sayyed Ahmed al Thayeb dengan Pemimpin Gereja Katolik Dunia Paus Fransiskus, 4 Februari 2019 di Abu Dhabi.
Kedua, kondisi kontemporer bangsa Indonesia yang belakangan dinilai telah merosot akibat pertarungan politik yang mengedepankan politik identitas. Kondisi ini dinilai telah menyebabkan terkikisnya rasa kemanusiaan dan keadaban. Jati diri bangsa yang asli menjadi terancam.
"Ini forum forum speak up dari sejumlah tokoh yang sedang risau dengan kondisi bangsa," kata Sudhamek. Ia pun menyebut hilangnya dua mutiara penting di negeri ini sekarang: belas kasih dan kasih sayang.
Forum Titik Temu ini melegakan. Sebab, dari pertemuan itu tergambar berbagai jati diri dan keunggulan bangsa ini yang perlu terus disebarluaskan dan dibanggakan. Untuk mengimbangi percaturan yang mengemuka sekarang.
Tak hanya itu. Di akhir pertemuan ditandatangani bersama Pesan Persaudaraan dan Keadaban yang dirumuskan berdasarkan hasil pertemuan tersebut. Naskah pesan peraaudaraan itu diteken semua yang hadir.
Berikut ini isi Pesan Persaudaraan dan Kemanusian Jakarta selengkapnya:
Di tengah makin mengikisnya rasa persaudaraan dan keadaban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia, usaha-usaha memperkuat nilai-nilai tersebut sesungguhnya bukan hanya penting tetapi wajib dilakukan setiap orang sebagai manusia apapun agama dan keyakinan. Fenomena pengikisan rasa persaudaraan dan keadabaan ini dapat dilihat dengan menguatnya prasangka buruk, intoleransi, berita palsu, dan ujaran kebencian, yang seringkali dipengerahi faktor politik terutama menjelang momen-momon politik.
Tantangan ini bukan hanya dihadapi di Indonesia, tetapi juga dihadapi banyak negara di dunia ini. Namun begitu kita juga juga menyaksikan langkah-langha penting dalam merespons tantangan kontemporer ini. Salah satunya pertemuan Imam Besar Al Azhar, Sayyed Ahmed al Thayeb dengan Pemimpin Gereja Katolik Dunia Paus Fransiskus pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi yan melahirkan Dokumen Persaudaraan.
Dalam usaha merespons tantangan sekaligus menegaskan dan menyebarluaskan pesan-pesan yang termaktub dalam dokumen tersebut, kami terdiri dari tokoh agama, akademisi, dan budayawan, yang tergabung dalam Forum Titik Temu menyerukan Pesan Persaudaraan dan Keadaban sebagai berikut:
Pertama, menegaskan dan menyerukan kembali kewajiban setiap manusia untuk menjalankan nilai-nilai persaudaraan dan kemanusiaan sebagai langkah mendasar mengurangi prasangka buruk, intoleransi, berita palsu, dan ujaran kebencian yang bukan hanya dihadapi di Indonesia tetapi juga di dunia. Nilai persaudaraan dan kemanusiaan ini merupakan titik temu setiap agama dan keyakinan yang bersifat abadi.
Kedua, menyerukan kepada institusi negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta dengan kemampuan dan perannya masing-masing memberi perhatian secara serius merespons dua faktor kunci penyebab mengikisinya persaudaraan dan kemanusia: perasaan tidak adil dan penciptaan kesejahteraan umum.
Ketiga, menyerukan kepada komunitas masyarakat, agama, dan organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat sinergi gerakan bersama dan memaksimalkan upaya-upaya nyata di berbagai bidang dari mendorong kebijakan yang adil, pendidikan, hingga pendampingan masyarakat di akar rumput.
Keempat, mendorong upaya-upaya pemerintah dalam perlindungan dan jaminan terhadap kebebasan dalam segala aspek kehidupan manusia, termasuk kebebasan beragama, berkeyakinan, berpikir, dan melakukan penegakan hukum secara adil dan transparan terhadap pihak yang melanggar.
Kelima, mendorong lembaga-lembaga pendidikan dan institusi keluarga sebagai institusi strategis masyarakat dalam membudayakan dan meningkatkan persaudaraan dan kemanusiaan.
Sungguh Forum Titik Temu yang digagas para tokoh bangsa ini menyisakan harapan bangsa ini di tengah maraknya fitnah dan caci maki. Di tengah pertarungan politik yang cenderung mengedepankan politik identitas yang bisa mengancam persatuan bangsa. (arif afandi)