Ketika Seminar Bab Zakat, Begini yang Terjadi
“Di mana-mana, kalau seminar bab zakat yang banyak hadir kok mustahiqnya (orang yang berhak menerima zakat) ya. Muzakkinya (orang yang wajib berzakat) pada ke mana.”
Suatu waktu, Kiai Hasyim diundang untuk menjadi pembicara dalam sebuah seminar tentang zakat di kota D. Tiga hari sebelum acara, beliau sudah menyiapkan materi dengan berbagai macam sumber dan dalil soal zakat.
Iya, Kiai Hasyim memiliki semangat yang tinggi manakala mendiskusikan tema zakat. Ia memiliki keyakinan bahwa zakat adalah solusi yang paling efektif untuk mengentaskan kemiskinan. Jika semua orang yang mampu berzakat dan jika zakat dikelola dengan benar, maka umat akan sejahtera.
“Sudah sampai mana, kiai?” tanya salah seorang panitia kepada Kiai Hasyim satu jam sebelum acara seminar bab zakat dimulai.
“Ini di jalan. Sebentar lagi sampai tempat acara,” jawab Kiai Hasyim.
“Bagaimana dengan peserta. Apakah banyak yang datang.”
“Iya. Lumayan, kiai,” balas panitia itu dengan suara parau.
Sesampai di tempat acara, Kiai Hasyim sedikit tertegun. Semula beliau berharap peserta bakal membludak, tapi ternyata peserta yang hadir hanya memenuhi seperempat kursi yang tersedia. Lumayan.
Penasaran dengan yang hadir, Kiai Hasyim menanyai beberapa peserta.
“Saya si fakir, kiai.”
“Saya si miskin, kiai.”
“Saya si amil zakat, kiai.”
Tiba-tiba muka Kiai Hasyim berubah menjadi masam. Ia merasakan sesuatu yang sama dengan seminar-seminar sebelumnya ketika membahas soal zakat.
“Di mana-mana, kalau seminar bab zakat yang banyak hadir kok mustahiqnya (orang yang berhak menerima zakat) ya. Muzakkinya (orang yang wajib berzakat) pada ke mana.”
“Giliran seminar bab qurrotul ‘uyun (kitab kama sutra ala pesantren) saja, ramai.” Batin Kiai Hasyim sedikit dongkol.
Sejak saat itu, Kiai Hasyim mulai sadar kalau diskusi soal zakat akan sepi peserta. Iya, rupanya mereka takut ‘ditagih’ untuk membayar zakat. Di sisi lain, mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) pada hadir di seminar karena mengira akan mendapatkan zakat. (adi)