Ketika Santri Dipulangkan, Kisah Pesantren Tambakberas Jombang
Dalam buku babon tentang Tambakberas (Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang) dikisahkan ada santri bernama Mahdun (sepuhnya bernama KH Ma‘shum Abdurrahman) yang berasal dari Kedunggudel, Widodaren, Ngawi.
KH Ma'shum yang lahir sekitar tahun 1923 mulai nyantri di Tambakberas pada zaman mendekati pendudukan Jepang. Saat Jepang masuk Jombang, mereka mulai represif ke rakyat, termasuk ke pondok. Karena memang para kiai pondok rata-rata non kooperatif atau anti terhadap Jepang.
Misalnya, KH. Hasyim Asy'ari pernah ditangkap dan dipenjara oleh Jepang, lalu dibebaskan oleh KH. Wahab Chasbullah dan KH. Wachid Hasyim. Demikian pula Madrasah Mubdilfan Tambakberas yang saat masa Jepang bernama Madrasah Islamiyah Ibtidaiyah Tambakberas juga pernah ditutup Jepang, namun atas usaha Kiai Fattah Hasyim pada tahun 1943 Jepang mengizinkan madrasah itu dibuka asal tidak untuk melawan Jepang.
Kembali ke KH Ma'shum, saat Jepang mulai represif itulah para santri disuruh pulang ke rumah masing-masing oleh kiainya, termasuk Kiai Ma’shum. KH. Ma'shum jalan kaki menelusuri rel kereta api Jombang-Ngawi yang tentu memakan waktu lama. Bisa dibayangkan begitu susahnya sekaligus tangguhnya pemuda zaman dahulu untuk menuntut ilmu. Setelah Jepang takluk di tangan Sekutu, Kiai Ma'shum kembali ke Tambakberas.
Zaman dulu santri dipulangkan karena ada penjajah dari Jepang yang represif dan tanpa ampun. Zaman sekarang banyak pondok yang memulangkan santri juga karena adanya agresor corona yang juga tanpa ampun.
"Saat ini banyak orang yang social distancing di rumah. Ada juga yang pergi ke makam tidak terkenal dan sepi peziarah untuk berdoa. Jangan tanya makam siapa ya?," tutur Ust Ainur Rofiq, pengajar di Tambakberas Jombang.