Ketika Salat Terkena Kotoran Burung atau Cicak, Batalkah?
“Ketika melakukan salat, ada saja gangguan. Misalnya, suatu ketika pada saat sedang berjalan salat tiba-tiba ada kotoran burung terjatuh, atau kotoran cicak. Nah, bagaimana dengan masalah ini? Apakah salat saya batal, atau tetap bisa diteruskan?”
Seorang pembaca ngopibareng.id, Irawan Husen, warga Kaliwaron Surabaya, mengajukan masalah tersebut.
“Dapat menciptakan suasana salat yang khusyuk merupakan impian dan keinginan setiap orang yang melakukan salat agar salatnya dapat diterima oleh Allah ﷻ. Dalam mewujudkan kekhusyukan ini, butuh konsentrasi khusus dari orang yang shalat dalam menghayati kandungan makna yang terdapat dalam bacaan-bacaan serta penghayatan pada setiap gerakan-gerakan salat yang ia lakukan.”
Demikian tanggapan ustadz M. Ali Zainal Abidin atas masalah tersebut. Untuk lebih menjelaskan masalah yang diajukan pembaca, berikut penjelasan lengkap Ustadz Ali Zainal Abidin:
Selain itu, butuh pula suasana yang tenang dan tempat yang bersih agar kekhusyukan yang diupayakan tidak terganggu dengan berbagai keramaian dan kekotoran yang melingkupi tempat dilakukannya shalat. Masih sering kita lihat masjid-masjid atau mushala-mushala yang masih dipenuhi dengan debu dan berbagai kotoran, bahkan dari berbagai kotoran itu, tak jarang kita melihat najis seperti kotoran burung dan cicak yang bertebaran di sekitar shaf-shaf.
“Dan disyaratkan sucinya tempat yang dibuat shalat. Dikecualikan dari hal ini permasalahan ketika banyak kotoran burung di tempat tersebut. Maka kotoran ini dihukumi najis yang ma’fu ketika berada di tanah atau permadani (Jawa: lemek) dengan tiga syarat. ..."
Terkadang najis-najis ini malah mengenai orang yang sedang melakukan shalat yang awalnya shalat dalam keadaan suci. Melihat hal demikian, langkah apakah yang mestinya dilakukan oleh orang yang sedang shalat tersebut? Apakah shalatnya langsung dihukumi batal sebab terkena najis, atau shalatnya masih bisa dilanjutkan?
Dalam hal ini, orang yang terkena najis di pertengahan shalatnya diharuskan untuk membuang najis tersebut seketika itu juga dari bagian tubuh atau pakaian yang terkena najis, dan ia tetap harus melanjutkan shalatnya, sebab najis ini tergolong najis yang ma’fu (ditoleransi/dimaafkan). Ketentuan seperti ini ketika najis yang mengenainya adalah najis yang kering.
Berbeda halnya ketika najis yang mengenainya adalah najis yang basah. Maka dalam hal ini, ia hanya bisa melanjutkan shalatnya dengan cara melepas pakaiannya seketika itu juga, ketika memang dengan melepas pakaian auratnya tetap tertutup. Jika tidak, maka shalatnya menjadi batal. Begitu juga ketika najis yang basah ini mengenai kulitnya, maka tidak ada jalan lain kecuali membatalkan shalatnya, sebab najis yang basah ini bukan merupakan najis yang ma’fu.
Penjelasan tersebut sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam kitab Manhaj at-Thullab:
قال: (لا) إن عرض (بلا تقصير) من المصلي كأن كشفت الريح عورته أو وقع على ثوبه نجس رطب أو يابس ( ودفعه حالا ) بأن ستر العورة ، وألقى الثوب في الرطب ، ونفضه في اليابس فلا تبطل صلاته ، ويغتفر هذا العارض اليسير
“Tidak batal jika baru datang pada orang yang shalat sesuatu yang membatalkan tanpa adanya tindak kecerobohan dari orang yang shalat. Seperti auratnya terbuka sebab terkena angin atau jatuh perkara najis mengenai pakaiannya, dan ia mencegahnya seketika itu juga dengan cara menutup auratnya, melepas pakaiannya pada najis yang basah dan membuang najis yang kering, maka shalatnya tidak batal. Dan hal yang bersifat baru datang yang sebentar ini ma’fu.” (Syekh Zakariya al-Anshari, Manhaj at-Thullab, juz 2, hal. 481)
Berbeda halnya ketika wujudnya kotoran burung atau cicak ini begitu banyak dan berada di tempat shalat saja, tidak sampai mengenai bagian tubuh dan pakaian orang yang shalat, seperti yang sering kita lihat di berbagai mushala-mushala pedesaan. Maka kotoran burung atau cicak ini dapat dihukumi ma’fu dengan tiga syarat. Pertama, seseorang tidak menyengaja berdiri di tempat yang terdapat kotoran burung atau cicak tersebut. Kedua, kotoran tersebut tidak basah. Ketiga, sulit untuk menghindari kotoran ini. Seperti yang terdapat dalam kitab I’anah at-Thalibin:
قال: (قوله ومكان يصلى فيه) أي وطهارة مكان يصلى فيه ويستثنى منه ما لو كثر ذرق الطيور فيه فإنه يعفى عنه في الفرش والأرض بشروط ثلاثة أن لا يتعمد الوقوف عليه وأن لا تكون رطوبة وأن يشق الاحتراز عنه
“Dan disyaratkan sucinya tempat yang dibuat shalat. Dikecualikan dari hal ini permasalahan ketika banyak kotoran burung di tempat tersebut. Maka kotoran ini dihukumi najis yang ma’fu ketika berada di tanah atau permadani (Jawa: lemek) dengan tiga syarat. Tidak menyengaja berdiam diri di tempat yang terdapat kotoran tersebut, kotoran tidak dalam keadaan basah dan sulit untuk dihindari.” (Sayyid Abu Bakar Syatho’, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 1, hal. 80)
Demikian penjelasan tentang materi ini, secara umum dapat disimpulkan bahwa ketika orang yang sedang shalat terkena najis berupa kotoran burung atau cicak maka ia harus segera membuangnya ketika najis tersebut dalam keadaan kering.
Berbeda halnya ketika najis tersebut basah, maka ia harus melepas pakaiannya jika tidak sampai membuka aurat, jika sampai membuka aurat atau najis tersebut mengenai kulitnya maka shalatnya menjadi batal. Wallahu a’lam. (adi)