Ketika Prof Mahfud di Pusaran Konflik
Oleh: Djono W. Oesman
Prof Mahfud MD: "FPI - HTI dilarang, LGBT kok tidak?" Itu dikatakan di simposium hukum di Nusa Dua, Bali, Rabu 18 Mei 2022. Mewakili pertanyaan masyarakat ke pemerintah.
------------
Jawab Mahfud: "LGBT belum ada aturan hukumnya. HTI-FPI melanggar UU Ormas."
Diperjelas Mahfud: "Ketika ribut-ribut kasus LGBT, kemarin, ada yang tanya: Pemerintah kok diam saja? Kok LGBT tidak ditangkap. Mana itu pemerintah?"
Dilanjut: "Mau ditangkap pakai pasal apa? Kami nggak suka LGBT, tapi tidak ada hukum pidana yang menghukum LGBT."
Asas legalitas menyatakan, orang tidak bisa ditangkap sebelum ada UU yang menyatakan, bahwa tindakan orang tersebut melanggar hukum.
Dilanjut: "LGBT ada sanksinya. Sanksi moral, dimaki, dibenci, dihina dan sebagainya yang sifatnya otonom. Kalau di sanksi hukum, nggak bisa."
Sesungguhnya, hal yang dikatakan Mahfud itu bukan pertanyaan masyarakat luas. Dalam arti puluhan, ratusan, ribuan, jutaan orang, tidak.
Masyarakat yang tidak paham hukum, tidak logis mempermasalahkan hukum. Sedangkan, masyarakat yang paham hukum, tidak mungkin bertanya begitu, sebab KUHP sebagai induk hukum pidana Indonesia, tidak mengatur LGBT.
Pertanyaan itu dilontarkan Said Didu di medsos, beberapa waktu lalu. Said Didu adalah Sekretaris Kementerian BUMN (2005-2010).
Said Didu melontarkan pertanyaan, setelah Mahfud menyatakan di medsos bahwa Indonesia negara demokratis. Orang tidak melanggar hukum, tidak mungkin dihukum.
Said Didu membalas, demokrasi bukan berarti dapat bebas melakukan apa saja. Tulisan Said di medsos, begini:
Prof @mohmahfudmd yth, pemahaman saya:
1) Demokrasi bukan berarti bebas melakukan apa saja.
2) Demokrasi harus dibatasi hukum, etika, moral, agama.
3) Pemerintah harus melindungi bangsa dari perusakan moral.
Jadi, persoalan spesifik: Mengapa LGBT tidak dihukum? Kemudian dilebarkan Said Didu menjadi: Pemerintah harus melindungi bangsa dari perusakan moral. Yang, sebagai mantan pejabat negara, mestinya Said paham KUHP. Akhirnya, Mahfud: KUHP belum mengatur LGBT.
LGBT sudah dimasukkan ke RUU KUHP. Disebutkan, beberapa tindakan LGBT dilarang. Dan jika dilanggar, pelakunya dihukum pidana. Tapi, RUU KUHP sampai kini tetap RUU. Masih warisan Belanda.
Dikutip dari buku Hukum Pidana, Horizon Baru Pasca-Reformasi (2011), KUHP berlaku mulai 1 Januari 1918. Namanya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie.
Wetboek van Strafrecht kemudian menyesuaikan dinamika zaman. Setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, wetboek berubah nama jadi KUHP. Dipakai sampai sekarang.
Rencana perubahan sudah berkali-kali. Dimulai 1960 akan diubah, tapi kemudian batal.
Upaya konkret mengubah KUHP pada 1981. Dalam paper yang disusun Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam, 2005), upaya itu ditandai dengan dibentuknya Tim Pengkajian untuk melakukan pembaruan terhadap KUHP.
Kelanjutannya tidak jelas. Pada dua belas tahun kemudian, 1993 disusun RKUHP. Waktu itu zaman Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Tapi setelah Ismail digantikan Oetojo Oesman, tidak ada pembahasan lagi.
Tujuh tahun kemudian, tahun 2000 muncul lagi RKUHP. Sebagai pelengkap RKUHP yang disusun 1993.
Elsam mencatat, RKUHP 2000 tak lepas dari usaha pembaruan yang dilakukan Menteri Kehakiman Muladi pada 1999. Namun, draf itu selesai di era Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra.
Lanjut, di era Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaluddin pada 2004. Pada masa inilah RKUHP yang disusun itu diajukan sebagai RUU yang menjadi prioritas untuk disetujui. Tapi, gak jelas juga.
RUU KUHP digodok lagi, Juni 2015. Pembahasan pun dilakukan dalam sejumlah rapat di DPR hingga terakhir pada Februari 2018. Tanpa hasil juga. Sampai sekarang.
Fokusnya bukan pada LGBT, sebenarnya. Seperti kata Prof Mahfud: "FPI - HTI dilarang, LGBT kok tidak?"
Di situ ada komparasi yang menggambarkan konflik tak terlihat, yang sebenarnya ada di negeri ini. Pihak A, menganggap pemerintah tidak adil. Pihak B (pemerintah) menangkis: KUHP belum mengatur LGBT.
Seumpama Pihak A mengejar dengan pertanyaan: Mengapa tidak diatur? Maka, bisa dipastikan Pihak B menjawab, bahwa: Indonesia menganut Trias Politika. Membagi kekuasaan negara jadi tiga: Eksekutif, legislatif, yudikatif.
Wewenang mengatur UU ada di legislatif. Sedangkan Prof Mahfud di posisi eksekutif. Maka, tanyakan saja soal itu ke DPR RI.
Ketika konflik tak terlihat ini diungkap di media massa, media sosial, dan forum lainnya, maka debat kusir itu tidak bakal berhenti. Justru cenderung memecah-belah bangsa. Berlangsung terus-menerus.
Penyebutan pecah-belah bangsa pun, antar Pihak A dengan B terjadi saling tuding. Masing-masing pihak menyatakan, pihak lawan yang memecah-belah bangsa.
Maka, terjadilah debat kusir baru lagi. Topiknya bergeser ke kata 'pecah-belah'. Tapi, intinya sama: Konflik tak terlihat. Tinggal mengubah topik saja.
LGBT cuma salah satu topik. Bersamaan muncul topik lain, misalnya, soal Ustadz Abdul Somad ke Singapura (yang juga ditanggapi Prof Mahfud). Atau topik apa pun. Terus-menerus.
Mestinya kondisi ini jadi warning. Bagi kita semua. Mencegah perpecahan. Secepatnya. (*)
Advertisement