Ketika Pendulum Jokowi Makin ke Kanan
APAKAH pendulum politik Presiden Jokowi tengah bergerak lebih ke kanan dalam hal ini lebih mendekat ke Umat Islam? Pertanyaan ini mencuat pasca bertemunya Presiden dengan pimpinan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI).
Jokowi dan partai utama pendukungnya PDIP, dalam terminologi politik Indonesia berada dalam pendulum kiri (nasionalis, Islam abangan) dan cenderung lebih bergerak ke kiri luar (non muslim, liberal dan kelompok-kelompok kiri lainnya).
Sementara partai-partai Islam (kanan) dan beberapa gerakan Islam lainnya, termasuk yang sering dipersepsikan radikal, dikelompokkan sebagai kanan luar.
Secara umum bila melihat praktik keagamaan di Indonesia, Islam sebagai agama mayoritas adalah Islam yang moderat (tengah). Ini sesuai dengan kultur Indonesia yang lebih mengutamakan harmoni, guyub, rukun dan menghindari konflik.
Hal itulah yang menjelaskan mengapa hampir semua partai di Indonesia kemudian mencoba bergeser ke tengah. Sebab basis terbesar pemilih Indonesia berada di kelompok ini. Sebuah logika, pilihan politik yang sangat wajar dan masuk akal.
Golkar misalnya selalu menempatkan posisinya di tengah. Di dominasi oleh banyak aktivis dari kalangan Islam (HMI), Golkar memposisikan diri sebagai partai nasionalis. Gerindra dan Nasdem sebagai partai nasionalis juga banyak mengakomodasi aktivis Islam. Sementara Demokrat dengan tegas menyebut dirinya sebagai partai nasionalis relijius.
Di dalam kelompok partai-partai Islam atau setidaknya berbasis Islam seperti PKB, PPP, PKS dan PAN juga bergeser lebih ke kanan tengah.
PAN yang didirikan oleh mantan Ketua Umum Muhamadiyah Amien Rais sejak awal tidak pernah mendeklarasikan diri sebagai partai Islam, tapi tidak dapat dipungkiri basis utamanya adalah warga Muhammadiyah.
PKB yang basis utamanya warga nahdliyin mengakomodir beberapa pengurus non muslim.
PPP walaupun semua pengurusnya Islam, tapi pilihannya juga moderat. PKS yang sering dipersepsikan cenderung kanan luar, ternyata banyak pengurus dan anggota dewannya, terutama di Papua yang beragama Nasrani.
PKS juga pernah mendeklarasikan jargon “keterbukaan” sebagai upaya merangkul pemilih muslim moderat dan non muslim.
Yang agak menarik adalah PDIP. Almarhum Taufik Kiemas, suami Megawati pernah mencoba menarik PDIP ke kiri tengah. Taufik merangkul umat Islam dengan mengakomodasi beberapa aktivis Islam sebagai pengurus dan caleg. Selain itu PDIP juga mendirikan Baitul Muslimin sebagai salah satu onderbouw-nya.
Sebagai partai yang mayoritas pemilihnya Islam (moderat, abangan), Taufik Kiemas agaknya menyadari adanya realitas yang kontradiktif, pengurus maupun calegnya PDIP kebanyakan non muslim. Itu semua menjelaskan mengapa kemudian PDIP terkesan sikap dan pilihan politiknya cenderung lebih ke kiri luar.
Pada Pilkada DKI, PDIP mendukung Ahok. Sementara pidato Megawati pada Ultah PDIP ke-44 yang dinilai sebagai bentuk “pengingkaran” terhadap salah satu Rukun Iman umat Islam (percaya kepada Hari Akhir), makin menegaskan pilihan itu.
PDIP bergerak makin jauh ke kiri luar. Demikian pula halnya dengan pemerintahan Jokowi yang nota bene PDIP sebagai pendukung utamanya.
Pilihan ini tentu saja sangat tidak menguntungkan dari sisi elektoral dan dalam jangka panjang bisa mengganggu integrasi bangsa.
Mengubah arah pendulum
Setidaknya ada tiga hal yang bisa kita catat dari Pilkada DKI 2017:
Pertama, mengerasnya polarisasi kelompok sekuler vs relijius akibat pilihan politik PDIP dan beberapa partai pendukung Ahok.
Relasi pemerintahan Jokowi dengan umat Islam memasuki fase terburuk. Ada kelompok-kelompok kepentingan, para penunggang bebas, yang memanfaatkan momen Pilkada DKI untuk mendorong kekuatan Islam keluar dari bingkai berbangsa dan bernegara.
Label intoleran, radikal, anti kebhinekaan, anti NKRI termasuk kampanye massif “Saya Indonesia, Saya Pancasila” adalah bentuk nyata upaya mendorong umat Islam keluar dari kapal besar bernama Indonesia. Sikap inilah yang kemudian mendapat perlawanan.
Kedua, terbentuknya soliditas umat Islam dengan mengabaikan berbagai perbedaan khilafiyah dan tidak berjalannya komando struktural organisasi.
Fenomena Aksi Bela Islam (ABI) mengkonfirmasi pilihan politik dan instruksi NU struktural tidak dipatuhi oleh NU kultural. Demikian pula halnya dengan Muhammadiyah dalam batas-batas tertentu. Dalam Jangka panjang bila tidak segera disadari, kedua ormas itu bisa ditinggalkan pendukungnya.
Ketiga, kalahnya kekuatan modal melawan kekuatan massa, dalam hal ini umat Islam dan kelompok-kelompok lain yang mewujud dalam perolehan suara Anies-Sandi sebesar 57.96 persen.
Dengan kekuatan modal yang dimiliki, para pengusaha besar yang secara simplistis sering disebut sebagai 9 Naga, membentuk oligarki dengan merangkul para pimpinan parpol, birokrasi pemerintahan, penegak hukum, media, artis, seniman, akademisi dan elemen-elemen lain termasuk LSM.
Target oligarki adalah menyatukan modal dan kekuasaan ke dalam satu tangan. Mereka mencoba melakukan eksperimen politik melalui Pilkada DKI dengan memanfaatkan Ahok sebagai proxy. Bila berhasil, maka penguasaan terhadap Indonesia, hanya persoalan waktu saja.
Menata kembali relasi antar-elemen bangsa
Sebagai kepala pemerintahahan sekaligus kepala negara, Jokowi punya dua pekerjaan rumah besar. Pertama, memperbaiki basis elektoralnya. Kedua, menata kembali relasi antar-elemen bangsa.
Pertama, dari sisi elektoral Jokowi masih mempunyai waktu dua tahun untuk mempersiapkan bekal menghadapi Pilpres 2019.
Sebagai Presiden incumbent dia mempunyai berbagai keuntungan yang tidak dimiliki oleh pesaingnya. Jadi bila kini dia bergerak cepat, maka hampir dapat dipastikan tidak akan terkejar dalam adu pacu menuju Pilpres.
Umat Islam bagaimanapun adalah pemilih terbesar. “Memusuhi” Islam adalah logika pilihan di luar nalar sehat demokrasi, dimana rakyat pemilih sebagai penentunya.
Fakta bahwa komando struktural ormas-ormas besar Islam dalam berbagai Aksi Bela Islam menunjukkan adanya perubahan besar dalam pola gerakan umat Islam.
Jokowi tidak cukup hanya merangkul Pengurus Besar (PB) NU,dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, dan mengabaikan ormas Islam lainnya, termasuk mereka yang kemudian melebur ke dalam gerakan baru model GNPF.
Pilkada DKI juga menunjukkan bahwa teorinya matinya “politik aliran” lebih berupa agenda dibandingkan dengan realita. Agenda tersebut coba dipaksakan oleh para akademisi, dan lembaga survei kepada benak para pemilih. Demikian pula halnya tudingan “politisasi agama” dilakukan kelompok minoritas yang sangat sadar akan kalah bersaing bila menggunakan logika demokrasi.
Dalam demokrasi, pemenang ditentukan oleh jumlah pemilih. Selama aturan demokrasi masih seperti itu, maka umat Islam yang menyadari potensi dan kekuatannya akan menjadi pemenang.
Cara mengalahkannya hanya dengan memanipulasi kesadaran politik umat, antara lain dengan agenda brain washing “matinya politik aliran” dan tudingan “politisasi agama”.
Sayangnya cara-cara brain washing maupun pemaksaan agenda setting syarat utamanya adalah penguasaan media dan publik opini.
Hadirnya media sosial membuat pemerintah ataupun kelompok tertentu tidak bisa lagi memaksakan agenda setting-nya. Informasi dan publik opini, tidak lagi berjalan satu arah.
Kedua, Dari sisi relasi antar-elemen anak bangsa, praktik politik yang mencoba mendorong umat Islam keluar dari “kapal besar Indonesia” tidak boleh dilanjutkan. Sebagai Kepala Negara Jokowi harus mencegah hal itu terjadi, bukan malah sebaliknya turut mengambil bagian di dalamnya.
Sebagai mayoritas tentu umat Islam harus mempunyai peran yang proporsional pula dengan tidak mengabaikan kelompok-kelompok minoritas lainnya. Jangan dibalik, balik.
Realitas bahwa sekelompok minoritas menguasai perekonomian Indonesia, perlu penataan kembali. Harus ada langkah konkrit untuk mengkoreksinya.
Pilkada DKI jangan hanya dilihat secara sederhana sebagai perlawanan umat, tapi dalam konteks yang lebih besar adalah bentuk perlawanan dari sebuah ketidakadilan.
Presiden Jokowi harus berani keluar dari pakem demokrasi Indonesia yang seolah sudah baku, bahwa pemilik modal sangat menentukan bagi seorang kandidat untuk terpilih kembali.
Biaya mahal dalam proses demokrasi di Indonesia mendorong para kandidat dan partai politik berselingkuh dengan apara pemilik modal. Mereka kemudian membentuk oligarki.
Pilkada DKI menunjukkan ketika rakyat melawan, kekuatan modal sebesar apapun bisa dikalahkan.
Pertemuan dengan GNPF MUI semoga saja merupakan sebuah pilihan sadar dari Jokowi untuk memperbaiki relasi antar-elemen bangsa. Bukan sekedar taktik dan pilihan politik jangka pendek untuk memperbaiki dan merebut kembali basis elektoralnya. end
*) Hersuberno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik
Advertisement