Ketika Mustasyar Memanggil
Oleh: Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research-IDR)
Pagi ini Senin (16 September 2024) pukul 01.49 WIB, saya baru saja selesai mendengar penjelasan Gus Mus soal keributan kecil antara Muhaimin Iskandar selaku Ketua Umum PKB dengan Ketua Umum PBNU, K.H.Yahya Cholil Staquf atau akrab dipanggil Gus Yahya.
Keributan ini, jelas Gus Mus --KH. Ahmad Mustofa Bisri— disederhanakan sebagai persoalan Muhaimin dan Yahya belaka. Bukan persoalan PKB dan NU. Dahulu, dua tokoh ini berteman biasa. Sama-sama mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) . Artinya, keduanya anak-anak NU yang pintar. Buktinya mereka lulus tes UMPTN dan lalu diterima kuliah di universitas bergengsi, UGM. Waktu Abdurrahman Wahid alias Gus Dur berkuasa, mereka sama-sama berada di sekitar istana. Gus Yahya waktu itu sempat menjadi juru bicara kepresidenan, sementara Muhaimin sudah menjadi anggota DPR RI di Senayan sana.
Keduanya, sama-sama mencicipi nikmatnya kekuasaan. Walaupun nasib Gus Yahya dalam menikmati kekuasaan itu lebih pendek, seturut dengan pendeknya masa kepemimpinan Gus Dur. Kala itu, Muhaimin, Gus Yahya, dan Adi Massardi yang juga jubir Gus Dur sempat sama-sama umroh berpakaian ihrom. Jadi semua rukun-rukun saja di bawah asuhan Gus Dur.
Waktu Gus Dur menjabat Ketua Umum PBNU, Gus Yahya memang dekat sekali, bahkan setiap hari bersama Gus Dur. Pola-pola pemikiran politik Gus Dur yang atraktif dan sulit dipahami orang, pastilah Gus Yahya dapat serap dengan baik. Namun apakah Gus Yahya sama dan sebangun dengan Gus Dur, rasanya masih jauh sekali. Apalagi dalam perkara kekayaan ilmunya Gus Dur ---begitu pun dalam atraksi atau akrobat politiknya Gus Dur. Namun sedikit-sedikit lagak terobosan dan langkah-langkah politik Gus Yahya punya getaran yang mengagetkan ala Gus Dur.
Cak Imin Melipat Gus Dur
Bagaimana dengan Muhaimin? Muhaimin ini adalah produk politik dari Gus Dur juga. Dalam politik, Muhaimin atau Cak Imin ini sangat atletis. Dia betul-betul seorang politisi ulung. Mungkin saja bisa dibilang akrobat politiknya lebih lihai dari Gus Dur sekalipun. Dia cepat sekali beradaptasi dengan lingkungan politik yang biasanya berubah sangat dramatis.
Mengapa saya bilang, lebih lihai dari Gus Dur? Orang sehebat Gus Dur saja, bisa dia lipat dalam sekejap. Nalar politik kekuasaan Muhaimin itu bergerak lebih cepat dari dinamika politik yang bakal terjadi.
Lihat bagaimana cara dia memanfaatkan kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menaklukkan Gus Dur. Meskipun Muhaimin ini adalah produk politik dari Gus Dur sebagaimana juga melahirkan Ali Masykur Musa, Khofifah Indar Parawansa, Gus Yahya, Saifullah Yusuf, Muhammad A.S.Hikam, Fajrul Falaakh, Slamet Effendy Yusuf, Ulil Abshar Abdalla, dkk.
Namun jangan lupa, Muhaimin selama menjadi Ketua Umum PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), dia juga belajar politik pada Akbar Tandjung, sang maestro politik santun nan lihai. Kepada saya Bang Akbar berucap, "Kalau ke PKB saya masih bicara dengan Muhaimin, sebab dia sempat saya bina melalui Kelompok Cipayung."
Jadi kalau Muhaimin sangat pandai berpolitik, itu jelas karena dia belajar kemana-mana, termasuk pada Akbar Tandjung.
Langkah Muhaimin mendongkel Gus Dur dari PKB --istilah Yenny Wahid, anak Gus Dur sebagai dosa politik terberat Muhaimin-- namun jika dipotret dari kepentingan karir politik Muhaimin, langkah mendongkel Gus Dur dari PKB itu adalah langkah strategis belaka secara politik. Jika tidak, maka PKB akan identik dengan Gus Dur atau Dinasti Hasyim. Di sini NU memiliki dua keuntungan, Gus Dur tetap besar, sedangkan Muhaimin muncul sebagai tokoh politik yang tidak tertandingi hingga kini.
Muhaimin vs Gus Yahya
Kedua tokoh NU yang sudah tidak muda lagi ini, dan secara struktur sudah berada di pucuk pimpinan nasional itu jelas bukan orang biasa. Keduanya sangat memberi andil yang besar dalam pertumbuhan NU --baik sebagai Jam'iyah maupun sebagai Jamaah.
Perjalanan politik Muhaimin di PKB tentu saja, bukan tanpa hambatan. Namun keterampilan Muhaimin menyelesaikan konflik internalnya bisa dibilang ciamik, meskipun tetap menyisakan sakit hati yang dalam di hati para pembangkangnya. Namun secara umum, kekuasaan Muhaimin di PKB masih sulit tergoyahkan.
Nah, mengapa Muhaimin dan Gus Yahya lantas berselisih? Kalau dilihat dari perjalanan karir politik keduanya, Muhaimin lebih banyak mendapat pematangan politik di lapangan ketimbang Gus Yahya. Oleh sebab itu langkah-langkah politik Cak Imin terlihat lebih sat-set ketimbang Gus Yahya. Langkah Imin yang Sat-Set itu jelas pada titik tertentu kerapkali bertubrukan dengan anasir kekuatan politik tertentu di PKB dan pada saat yang sama juga memiliki jaringan dalam tubuh PBNU.
Orang-orang yang sakit hati di PKB ini kemudian mencari jalan untuk memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan kelompok mereka. Hal seperti ini adalah wajar sekali dalam politik kekuasaan, di manapun dan sampai kapan pun. Kelompok ini, yang sekarang diwakili oleh Gus Yahya dan Gus Ipul mencoba mencari jalan berbeda dengan apa yang dilakukan Muhaimin pada Pemilu 2024 lalu.
Jadi, konflik Muhaimin dan Gus Yahya ini rasanya akan lebih bijaksana jika dirunut sebagai persaingan politik antaraktor (politics among actors) di antara santri politik didikan Kiai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Lalu bagaimana cara agar konflik keduanya itu didamaikan. Pakai mekanisme apa?
Rasa-rasanya saran Gus Mus tadi menjadi sangat relevan. Sebagai sama-sama anak didikan Gus Dur mereka hendaknya sadar bahwa mereka bukan lagi mahasiswa UGM yang lagi bertarung memperebutkan Ketua Umum Senat Mahasiswa sebagai media latihan memimpin. Namun mereka sudah menjadi tokoh-tokoh nasional yang akan sangat menentukan Nahdlatul Ulama sebagai jam'iyah dan jamaah NU serta wajah Indonesia di masa depan.
Jalan dan solusinya, kata Gus Mus, secara Jam'iyah (organisasi), seharusnya Kiai Sepuh yang ada dalam Mustasyar PBNU, segera memanggil Muhaimin dan Yahya Staquf untuk duduk bersama mendengar nasihat-nasihat bening dari para Kiai. Jika mereka tidak mau, kata Gus Mus, Yo wis....!