Ketika Luhut Tersandung Kritik MSD
Perkara ini berawal dari dialog kecil antara Muhammad Said Didu (MSD), dengan wartawan senior, Hersubenu Arif. Keduanya melakukan dialog atau interview by Zoom terkait dinamika sosial politik mutakhir.
Sebagaimana biasa, MSD selalu tampil menarik. Ia kerapkali mengundang selera lawan bicaranya. Hersu membuka dialog dengan bunga. Bunga yang terdapat di belakang MSD; mawar merah yang mempesona.
MSD pun menjawab, bunga itu ia dapat dari kebun bunga yang dimilikinya. Kini, bunga itu ikut dirumahkan karena tak ada pembeli. Pembelinya tak mau datang karena takut Covid-19.
Dari bunga mawar itulah pembincangan Hersu dan MSD merambat naik. Porseneleng satu, dua, langsung 4. Mesin diskusi itupun memanas hingga menyentuh angka 120 km/jam. Kilikan Hersu tokcer, dan MSD pun tancap gas. Drumm dremmn....lalu Luhut pun tertabrak....braaaaak.....!!
Tapi apa masalahnya hingga Luhut merasa tertabrak. Dari perbincangan wartawan dengan narasumbernya itu, MSD menyebut nama Luhut sebagai orang yang kira-kira kurang sensitif terhadap nasib dan keselamatan rakyat kecil, yang kini dilanda Covid-19.
Luhut dibilang ngotot agar pembangunan ibu kota baru harus tetap berjalan, padahal negara dalam kondisi kalang kabut. Luhut pula yang menyebabkan Sri Mulyani pusing kepala karena sebagai pimpinan proyek, anggaran pembangunan ibu kota baru itu tidak mau dipotong.
Entah apa yang terjadi di antara Sri Mulyani dan Luhut, maka kemudian mendorong agar Jokowi selaku Presiden bikin Perppu untuk mengubah ketentuan batas utang dalam APBN diatas 5 persen dari 3 persen. Kalau itu yang terjadi, maka Jokowi telah melanggar Undang-Undang dan terancam impeachment.
Rasa-rasanya, itu pula yang membuat Faisal Basri selaku ekonom menyebut Luhut sebagai lebih berbahaya daripada Covid-19. Seolah mempertebal kekesalan Faisal atas Luhut, MSD sampai menyatakan bahwa Luhut itu dikepalanya lebih mementingkan uang, uang, dan uang daripada keselamatan rakyat yang kini menderita.
Mestinya Luhut juga tahu, apa prioritas pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2020.
Dalam RKP Tahun 2020 utamanya akan fokus pada upaya pembangunan sumber daya manusia dan pemerataan wilayah, yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi dan ekspor. Untuk mendukung arah kebijakan tersebut, strategi pelaksanaan pembangunan dituangkan ke dalam lima Prioritas Nasional, yaitu: pertama, Pembangunan Manusia dan Pengentasan Kemiskinan; kedua, Infrastruktur dan Pemerataan Wilayah; ketiga, Nilai Tambah Sektor Riil, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja; keempat, Ketahanan Pangan, Air, Energi, dan Lingkungan Hidup; dan, Kelima, Stabilitas Pertahanan dan Keamanan.
Apabila Luhut selaku Menko Maritim dan Sumber Daya memperhatikan dengan benar apa yang ada dalam RJP tersebut, maka dia sangat tidak layak untuk tersinggung pada MSD. Sebab MSD justru memberi saran yang tepat kepada Luhut agar disiplin pada prioritas pembangunan yang telah disepakati bersama yaitu soal manusia. Apalagi manusia yang terancam mati karena Covid-19
Bagaimana ditengah manusianya berada dalam bahaya yang mengancam keselamatan rakyat, dia justru ngotot membangun ibukota baru. Dalam konteks itulah, kita semua dapat memahami MSD yang berpendapat bahwa dalam diri Luhut yang terpikir hanya uang, uang dan uang.
Dan jika betul Luhut melalui pengacaranya akan memperkarakan kasus MSD ini ke pengadilan, rasanya hanya akan "menepuk air didulang, tepercik muka sendiri."
Mengapa? Ada beberapa alasan penjelas yang membuka peluang Luhut dipermalukan di pengadilan. Pertama, fakta-fakta hukum yang membuat MSD akan dikenai hukuman sangatlah sumer. Sebab posisi hukum MSD dalam sistem negara demokrasi memberikan hak kepadanya sebagai rakyat untuk berpartisipasi secara aktif dalam setiap proses pembangunan nasional. Salah satu wujud partisipasi warga negara dalam negara demokrasi adalah menyalurkan kritik, juga melakukan demonstrasi (baca: Pengantar Ilmu Politik, Miriam Budiarjo)
Dalam negara demokrasi, Rakyat adalah pemilik kedaulatan penuh atas hitam dan putihnya bangsa dan negara. Jadi Rakyat adalah setara dengan Raja. Sedangkan Menteri adalah Pesuruh, karyawan yang diberi gaji, diberi fasilitas, dan diberi kewenangan untuk menjalankan kedaulatan rakyat. Jadi, apabila tingkah laku karyawan itu membahayakan keamanan negara, maka wajar kalau majikannya memarahi mereka. Memarahi itu sejatinya hanya Surat Peringatan 1 (SP.1) dalam budaya organisasi korporasi.
Kedua, sentimen negatif publik pada sosok LBP yang seolah bertindak super dalam pemerintahan Jokowi sudah melewati ambang batas psikologis. Oleh karena itu bisa dipahami jika orang sekaliber Prof. Dr. Din Syamsudin secara terbuka akan membela MSD jika kelak diseret ke meja hijau. Bukan hanya Din Syamsudin, namun akan ada sederet pasukan pembela MSD dalam upaya mempertahankan kebenaran. Pada titik ini LBP akan berhadapan dengan rakyat yang merasa tidak diuntungkan.
Ketiga, selaku pejabat pemerintah LBP yang dikenal sebagai pengusaha sukses akan dibaca publik sebagai orang yang memiliki vested interest yang bekerja diruang publik. Beberapa laporan majalah Tempo menunjukkan LBP adalah pemilik banyak sekali perusahaan. Oleh karena itu ada baiknya jika niat memperkarakan MSD itu diurungkan dan fokus pada tugas-tugas yang diamanahkan yaitu menyelamatkan rakyat dari bahaya mematikan Covid-9 itu.
Dengan demikian, masalah kecil itu akan menemukan kearifannya sendiri. Jalan saling bermaafan mungkin lebih indah daripada hukum yang justru akan menambah luka. Namun jika langkah hukum harus ditempuh, maka saya tidak bisa membayangkan jika seorang Menko yang seharusnya mengurus negara, mesti bolak-balik ruang sidang pengadilan hanya untuk mempertahankan gengsinya yang terluka akibat kecaman majikannya (rakyat). Sungguh terlalu, bukan?
Fathorrahman Fadli*
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang)
Advertisement