Ketika Kopi (sedang) Tak Cocok
Sulitnya kita tersenyum dengan kelegaan sampai relung sanubari terdalam akhir-akhir ini. Di banyak tempat, di banyak lini, di banyak kesempatan, muncul muka-muka kecut.
Muncul juga muka-muka tegang, muka-muka tak terima, muka perselisihan, muka permusuhan, muka kecurigaan dan seterusnya. Pendeknya, lebih banyak daripada muka sang Dasamuka si penculik Dewi Shinta.
Hari ini, (mohon maaf) menggok sedikit dari bicara kopi ya. Nah dienggok-enggokan itu saya nemu kaki lima warung es. Disebuah kota "J" di jalan "R".
Dengan kesadaran semiotik, pemilik warung es ini mencoba berkomunikasi dengan bahasa kalbu. Medianya adalah warung, media lainnya adalah es, pamungkasnya adalah imajinasi dengan kemauan inneraction.
Dalam ranah kesenian Ludruk, seniman-seniman Ludruk di Jawa Timur, di banyak pementasan sering keceplos dialog spontan, "Ati oleh panas, tapi endasmu deke'en kulkas". Artinya lebih kurang begini; hati boleh panas tetapi kepala harus tetap di kulkas. Ini, Es Plengeh ini, sedikit beda. Gayanya alusan, tidak seperti gaya ludrukan yang to the point. Gaya plengeh ini lebih mengarah kepada gaya tengahan yang identik Mataraman.
Plengeh itu bahasa Jawa tur banget. Lafal bisa berbeda tergantung yang melafalkan bahasa ibunya apa. Namun, si pemilik warung, dengan kesadaran yang lain, sudah membantu kita dengan tanda fonetis di atas huruf "e" agar yang mengucapkan tak salah lafal.
Plengeh = senyum. Senyum yang benar-benar senyum dengan muatan kelegaan tanpa batas. Kelegaan apa saja. Muka kecut, muka beringas, muka marah, muka salah, muka gelisah, muka salah paham, hingga muka ancur sekalipun bisa mendadak sirna.
Sayangnya, senyuman plengeh ini mengandung durasi waktu. Bisa hanya sepersekian detik seperti nyala lampu flash pada kamera hingga yang permanen dan mampu mengubah suasana batin seseorang.
Kenapa pemilik warung yang hendak mengajak senyum ini medianya menggunakan es dan bukannya kopi, atau yang lain?
Sepertinya begini tesisnya; ketika sedang minum es, begitu bibir dan ujung lidah yang kaya saraf ini menyentuh suhu beku es, organ kita dari ujung rambut kepala hingga ujung kaki seketika mampu bereaksi. Ibaratnya langsung mampu rumesep sak jroning tubuh.
Lantas kenapa bukan kopi? Di dalam kopi memang terdapat kafein. Kafein dengan sifatnya bisa masuk dalam aliran darah hingga mampu berpengaruh terhadap kinerja otak. Namun, kafein dalam kopi tidak serta merta mampu bereaksi. Butuh sedikit waktu. Tidak bisa langsung gas pol seperti reaksi suhu beku es.
Plengeh adalah kata sifat. Mak plengeh adalah kata kerja. Maka, ayolah mlengeh. Pun, sedang mengeja "Saya Indonesia Saya Pancasila" yang beberapa saat lalu menjadi sangat viral di dunia Medsos.
Mlengeh, dengan melebarkan sedikit bibir, serta diniatkan ikhlas yang mendalam, sejatinya, hal verbal seperti Saya Indonesia Saya Pancasila itu akan mampu lebih luwes dan lebih mampu remesep sak jroning tubuh ngantos dumugi hati sanubari. widikamidi