Ketika Ketua Dewan Pers Meremas Tangan Sang Legenda
Peter Apollonius Rohi adalah jurnalis legendaris. Mantan KKO (Marinir) yang keluar dan lebih enjoy menjadi wartawan ini kini terbaring di rumahnya di Surabaya. Sebagian tubuhnya lumpuh karena menderita stroke.
Laki-laki kelahiran Pulau Sabu NTT 14 November 1942 ini tak berdaya, kecuali sorot matanya yang tetap tajam menyala menandakan semangatnya masih bergelora seperti biasanya. Peter A. Rohi, nama akrabnya, adalah wartawan yang tak pernah padam untuk membongkar ketidakberesan yang ada di sekelilingnya, terutama akibat ulah oknum di birokrasi.
Hari Kamis 23 Agustus kemarin, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengunjungi Peter di rumahnya yang amat sederhana di Kampung Malang Gang VIII, Surabaya. Berjalan memasuki kampung-kampung kecil dan lorong sempit, Stanley nama akrab Yosep Adi Prasetyo didampingi seorang staf Dewan Pers, Sri Lestari.
“Saya ke Surabaya untuk dua agenda, salah satunya adalah mengunjungi wartawan yang saya kagumi ini. Ketika beberapa waktu lalu beliau dirawat di Rangkas Bitung Banten, saya belum sempat menjenguk. Kemarin setelah mendapat informasi bahwa Beliau dibawa pulang ke Surabaya, saya memutuskan untuk mengunjunginya,” kata Stanley.
Di rumahnya di lorong selebar dua meter itu, Peter dirawat istrinya yang sangat setia dan selalu nampak cerah, Welmintje Giri, bersama salah seorang putra dan menantunya. Beberapa hari lalu Peter dibawa ke Surabaya setelah terkena serangan stroke sejak bulan Mei. Di Banten beberapa kali dia masuk rumah sakit.
“Dia tahu siapa yang dilihatnya. Dia sadar, tapi memang tidak dapat mengungkapkan dengan kata-kata. Jadi responnya ya hanya dengan menangis,” kata Welmintje, istri yang selalu menemani dan menyemangati. “Kalau ada temannya yang menelpon, dia cuma menangis karena tidak bisa diajak bicara. Jadi untuk sementara hapenya saya matikan dulu,” katanya.
Stanley agak tersentak ketika dia mengangkat tangan kiri Peter, kemudian meremas jari-jarinya, dan Peter balas meremas tangannya agak kuat. “Wou....dia meremas tangan saya. Dia merespon. Luar biasa semangat Pak Peter,” kata Stanley. Peter menatap tajam Stanley, kembali air matanya mengalir.
Menurut Stanley, Peter A Rohi adalah figur wartawan teladan yang tekun, tak mudah menyerah, gigih menembus narasumber dan tidak pernah takut menghadapi ancaman dan represi dari siapa pun. Peter Rohi yang pernah bekerja di berbagai media ini adalah sosok wartawan sejati yang mengabdikan diri sepenuhnya kepada kepentingan publik, katanya.
“Ia adalah saksi mata ketika kantor redaksi Suara Indonesia di Malang dikirimi potongan kepala manusia pada 1983 akibat pemberitaan yang mengritik pada serangkaian aksi penembakan misterius yang diduga dilakukan aparat keamanan pada waktu itu. Dia pula yang berhasil melacak tempat kelahiran dan rumah Bung Karno di Surabaya, yang dimanipulasi seolah Bung Karno dilahirkan di Blitar,” kata Stanley.
Karier jurnalistik Peter A. Rohi berawal dari tahun 1970 setelah mengundurkan diri dari kesatuannya di Batalyon Tank Amfibi KKO, kemudian masuk ke majalah Sketmasa yang terbit di Surabaya. Setelah itu dia pindah ke Sinar Harapan (Jakarta), kemudian Pikiran Rakyat (Bandung), Memorandum (Surabaya), Suara Indonesia (Malang), Jayakarta (Jakarta), Surya (Surabaya), Suara Pembaruan dan kemudian tahun 1998 merintis terbitnya kembali Sinar Harapan usai lengsernya pemerintahan Soeharto. Terakhir, dia mendirikan Koran Indonesia yang sayangnya tidak berusia lama.
Tetapi Peter juga aktif di medsos, terutama Facebook. Awal tahun ini melalui akunnya dia memposting tentang kondisi sebuah sekolah di kampung halamannya di Pulau Sabu yang memprihatinkan. Dia informasikan beberapa kali persoalan pendidikan yang menimpa murid-murid di Pulau Sabu, sampai akhirnya Mendikbud Muhajir memperhatikan dan memperbaikinya.
Sekitar tahun 2007-2008 Peter A Rohi terkena serangan jantung sehingga harus dioperasi. Tetapi setelah operasi jantung, semangatnya untuk melakukan liputan-liputan khusus justru bangkit lagi. Dia tertarik dengan pernyataan sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang mengatakan banyak sekali jugun ianfu (wanita pemuas nafsu tentara Jepang) yang terdampar di Pulau Buru.
Peter percaya pada pernyataan Pram karena sastrawan Lekra ini memang pernah mendekam di tahanan politik di Pulau Buru semasa pemerintahan Orde Baru.
Melacak informasi seperti itu tentu tidak mudah. Tapi bagi Peter tak ada kamus sulit. Dia terbang ke Pulau Buru dan hasilnya memang dia berhasil mendapat cerita eksklusif dari beberapa orang bekas jugun ianfu yang berhasil dia temukan. “Dengan melakukan investigasi, justru sakit jantung saya jadi sembuh,” kata Peter ketika itu.
Kini Peter A. Rohi terbaring lemah di rumahnya di Surabaya. Dia adalah seorang legenda, semoga sang legenda segera sembuh dan kembali beraktivitas seperti semula. (nis)