Ketika Kaum Muda Ragu Agama, Muncul Fenomena Agnostisisme
Banyak generasi muda ragu terhadap agamanya lalu memutuskan untuk tidak beragama, misalnya menjadi seorang agnostik. Fenomena merebaknya agnostisisme ini berakar dari tiga sebab utama yaitu modernisme.
Fenomena agnostiksisme menuntut segalanya harus rasional, motivasi keagamaan yang tak sejalan dengan keinginan pribadi, dan cara berpikir yang instan.
“Keraguan tentang keberadaan Tuhan itu, berimplikasi pada sikap hidup yang tidak berdasar pada dorongan ketuhanan. Akhirnya, kaum agnostik menganggap bahwa aktivitasnya di dunia tidak dilihat, diamati, dan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat,” ujardosen filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Ustadi Hamsah, dikutip Senin 21 Maret 2022.
Menurut Ustadi, sikap seorang muslim dalam merespon perkembangan agnostisisme ini dapat diawali dengan tadabur ayat-ayat Allah dalam Al-Quran. Dalam Al-Quran Surat Muhammad ayat 19 menekankan agar manusia memaksimalkan akal pikiran untuk mengetahui bahwa tiada Tuhan selain Allah. Caranya yaitu menggunakan ilmu pengetahuan. Singkatnya, ilmu merupakan basis untuk mengetahui bahwa Allah satu-satunya Tuhan.
Tuntunan Al-Quran
“Al-Quran begitu luar biasa menuntun kita untuk memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya untuk mengetahui Allah secara rasional. Al Quran mengajak untuk tahu dulu baru yakin, bukan yakin dulu baru tahu,” tutur anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini.
Allah memang tidak nampak tapi yang ada adalah media untuk mengetahui bahwa Allah itu ada. Salah satunya ayat yang menginformasikan bahwa Allah menghamparkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada manusia terdapat dalam QS. Fussilat ayat 53. Di dalam ayat tersebut, Allah memberi informasi bahwa Dia menyebarkan tanda-tanda kekuasan-Nya di alam semesta, diri manusia sendiri, dan di dalam al-Quran.
Melalui pendalaman tentang ayat-ayat Allah ini, kata Ustadi, lahirlah apa yang dikenal sebagai sebagai ilmu pengetahuan. Dari alam semesta lahirlah cabang-cabang ilmu eksakta seperti fisika, biologi, kimia, matematika, dan lain-lain. Dari diri manusia sendiri lahir cabang ilmu sosial-humaniora seperti sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah, dan lain-lain.
Dari Al-Quran lahir cabang ilmu seperti tafsir, usul fikih, akhlak, dan lain-lain. Ilmu-ilmu tersebut akan mengantar pada keyakinan tentang keberadaan Allah.
Tidak heran bila dahulu lahir para pemikir Islam yang brilian semacam Al Khawarizmi, Al Biruni, Ibn Rusyd, Ibn Sina, Ibn Khaldun, Al Ghazali, dan lain sebagainya. Mereka memaksimalkan akal pikiran untuk membuktikan keberadaan Allah.
Dengan ilmu yang dimiliki, tak ada satupun dari mereka memutuskan menjadi agnostik. Lain daripada itu, keteraturan gugus semesta seperti bulan mengelilingi bumi, dan bumi mengelilingi matahari tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa ada yang kekuatan di baliknya.
Demikian pula tubuh manusia, substansi kerja otak, urat syaraf dan aliran darah adalah gerak keteraturan mekanis. Semuanya berjalan dengan keserasian yang sempurna. Ini menunjukkan bahwa alam semesta hingga raga manusia yang organismenya begitu rumit hanya dimungkinkan sebagai hasil dari penciptaan yang Allah lakukan.
“Tugas kita ialah bagaimana mengkomunikasikan ilmu yang telah ada ini untuk dipahami dan dijelaskan kepada anak-anak muda yang mulai tergoda paham agnostik,” saran Ustadi.