Ketika Nyai Jimat Dimandikan, Bekas Air Mandinya Jadi Rebutan
Kanjeng Nyai Jimat. Pernah dengar? Atau, Kyai Harsunobo? Pernah dengar juga? Sepertinya belum! Malahan, boleh jadi, banyak yang belum mendengar ketimbang yang sudah mendengar.
Siapa mereka? Keduanya adalah para pusaka Keraton Yogyakarta.
Jadi bukan manusia dong? Memang bukan. Keduanya berupa kereta kuda. Kereta itu sehari-hari ditempatkan di Museum Keraton Yogyakarta.
Adalah jamak, benda-benda pusaka milik Keraton dinamai seperti halnya nama manusia. Bagi yang mempelajari tradisi dan sejarah, seperti ini adalah lumrah. Tapi, bagi para generasi media sosial, boleh jadi penamaan ini dianggap sebegai keanehan.
Pada penanggalan kalender Jawa, harinya Selasa dengan pasaran Kliwon, di bulan Suro seperti sekarang, (baca: Selasa 2 Oktober) Kraton Yogyakarta menggelar tradisi unik. Tradisi itu sering juga disebut masyarakat sebagai ritual. Ritualnya dinamakan ritual jamasan.
Jadi Selasa Kliwon kemarin digelar ritual jamasan untuk kedua pusaka itu, Kanjeng Nyai Jimat dan Kyai Harsunobo. Kedua pusaka itu dijamas alias dibersihkan oleh para abdi dalem keraton.
Prosesi jamasan dilakukan dengan mencuci kedua kereta berikut kain mori penututpnya dengan menggunakan air kembang.
Tradisi ini pun tak luput dari agenda para wisatawan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ritual Selasa Kliwon ini membuat wisatawan berbaur dan berdesak-desak. Warga lokal pun tak ketinggalan. Sangat antusias mengikuti ritual jamasan.
Uniknya, bahkan hebatnya, air bekas cucian dua kereta pusaka itu diperebutkan secara massal. Wisatawan dan warga berebut tetes demi tetesnya. Untuk apa to? Jawabnya adalah untuk ngalab berkah.
Sebagin besar dari mereka percaya bahwa rebutan air jamasan itu bisa mendatangkan keberkahan dalam kehidupan mereka.
Yatinah, 50 tahun, warga Wirogunan Yogyakarta misalnya. Tiap waktu jamasan kereta pusaka ini datang, dia mengaku tak pernah melewatkannya. Bahkan mempersiapkan botol juga jirigen. Yatinah juga berjibaku seperti yang lain, berdesak-desak dan berebut. Bahkan mengantri sejak musem kereta belum dibuka. Pesaingnya direbutan air jamasan itu bahkan ada yang berangkat sebelum subuh.
Diapakai apa to Bu Yatinah? Kalau sudah dapat air ya dipakai minum sehari-hari. Untuk mandi dan lainnya. Nanti airnya dicampur sama air yang ada di rumah agar tak cepat habis. Lha wong berebutnya sudah je.
“Tapi nggih niku wau, sedaya tergantung keyakinan piyambak-piyambak," kata Yantinah dengan bahasa krama.
Tak hanya Yatinah yang berebut Jamasan. Ada Sucipto, 45 tahun, warga Indramayu. Dia datang jauh-jauh bersama rombongan. Tak tanggung-tanggung dia berangkat bersama 50 orang lainnya. Dia naik bus carteran.
"Seru saja sih. Intinya ya kembali ke masing-masing. Kami datang untuk ambil air jamasannya. Di Indramayu kami punya empang. Nanti air dibaurkan disana. Harapannya agar panen ikan lebih baik lah dari tahun sebelumnya,” akunya.
Pengirit Abdi Dalem Konco Roto, Wedono Roto Diwiryo, yang membawahi ritual jamasan menuturkan, seperti biasa pada jamasan tahun ini Kanjeng Nyai Jimat sebagai kereta pusaka utama yang dijamas. Karena usianya yang cukup tua sejak era HB I. Karena usianya yang sangat tua itu maka pelaksanaannya ekstra hati-hati. Menggunakan air perasan jeruk. untuk bagian tertentu dengan air bunga.
Selain Kanjeng Nyai Jimat, dalam kesmepatan ini juga dilakukan jamasan kereta pendamping, yakni Kanjeng Kyai Harsunaba. Kereta tersebut aktif dipakai semasa pemerintahan Sultan HB VI yang dibeli pada 1870 untuk keperluan kebesaran. (kr/idi)