Ketika Kambing Mati dan Renungan Habib Umar 'Ratibul Atthas'
Banyak kisah memberikan pelajaran berharga bagi kehidupan. Seperti yang disampaikan Pengasuh Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo, KH Muhammad Shofi Al Mubarok, saat pengajian Kitab Tafsir Jalalain. Berikut lengkapnya:
Habib Umar bin Abdul Rahman Al Atthas, salah satu cicit Nabi yang begitu menghormati para tamu yang sowan kepadanya. Suatu ketika, datanglah serombongan tamu berniat sowan silaturahim. Seketika, seorang alim yang juga pengarang Ratibul Attas yang masyhur ini pun memanggil salah satu khadimnya, santri pelayan di dalam rumahnya.
"Wahai Fulan, pilihlah kambing terbesar dan terbaik di kandang sana. Kemudian sembelihlah untuk jamuan makan para tamu," tuturnya.
Seraya undur diri, sang khadim pun bergegas menjalankan apa yang diperintahkan oleh gurunya. Beranjak ke kandang, memilih kambing terbaik, kemudian segera menyembelihnya.
Namun, nahas menimpanya. Ternyata si kambing gagah nan gemuk itu tak sejinak yang ia bayangkan. Ketika sebilah golok ingin disayatkan di lehernya. Kambing itu berontak menarik-narik tali kekang sekuat tenaga. Akhirnya kambing itu pun mati sia-sia terlilit tali kekang tanpa berhasil disembelih sesuai syari'at.
"Wahai muridku, tahukah engkau apa yang kusedihkan? Sekali-kali tidaklah aku menangis karena aku kehilangan kambing terbaikku. Aku merenung dan mencoba menerapkannya pada kehidupan kita. Coba engkau pikirkan. Selama ini, kambing terbaik itu terlihat baik-baik saja. Bahkan ia terhitung jinak nan menyenangkan hati dengan makan dan minum sangat lahap. Namun, ternyata Allah menakdirkannya untuk mati dalam keadaan su'ul khatimah, akhir yang buruk. Ia mati menjadi bangkai yang haram dimakan."
Khadim itu pun kemudian mengadu sambil tergugup kepada sang habib. Kemudian empunya Ratibul Hadad ini pun sejenak termenung dan menitikan air mata. Kegundahan khadim pun semakin menjadi. Setelah alpa dalam menyembelih kambing terbaik milik gurunya, ia kembali merasa bersalah atas tangisan gurunya.
Ia kemudian berniat untuk mencarikan ganti kambing terbaik itu. Namun sang guru mencegahnya dan berkata,
"Wahai muridku, tahukah engkau apa yang kusedihkan? Sekali-kali tidaklah aku menangis karena aku kehilangan kambing terbaikku. Aku merenung dan mencoba menerapkannya pada kehidupan kita. Coba engkau pikirkan. Selama ini, kambing terbaik itu terlihat baik-baik saja. Bahkan ia terhitung jinak nan menyenangkan hati dengan makan dan minum sangat lahap. Namun, ternyata Allah menakdirkannya untuk mati dalam keadaan su'ul khatimah, akhir yang buruk. Ia mati menjadi bangkai yang haram dimakan.
"Lantas, bagaimana dengan keadaan kita. Kita bisa saja berakhir nahas layaknya kambing itu. Menemui ajal dan berakhir dengan buruk. Maka, tiadalah dzat yang dapat menolong kita kecuali Allah ta'ala. Oleh karenanya, tetplah kamu membiasakan berbuat baik.
"Hingga suatu ketika, jika engkau sewaktu-waktu dipanggil menuju kehadirat-Nya, mudah-mudahan dalam keadaan husnul khatimah, akhir yang baik." Seketika hening, sedang para murid tertunduk malu.(Ulin Nuha Karim/nu-online)