Ketika Investigasi Jurnalis Terancam Bui
Investigasi tentang dugaan terjadinya plagiarisme yang dilakukan Jurnalis Serat.id Zakki Amali akhirnya diadukan ke polisi.
Dalam tulisannya, Zakki, menilai bawah Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Fathur Rokhman telah melakukan plagiarisme. Tak terima atas tulisan ini, Rektor akhirnya melaporkan kasus ini ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jawa Tengah.
Mengutip Antara, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dijadikan dasar dalam kasus ini. Sehingga Kalangan aktivis prodemokrasi dan kemerdekaan pers segera bereaksi atas kasus itu.
Koordinator Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim dan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo sependapat bahwa kasus karya jurnalistik yang dianggap mencemarkan nama baik itu sebaiknya diselesaikan secara perdata, lewat forum mediasi di Dewan Pers.
Namun, Hendi Pratama yang menerima kuasa dari Rektor Unnes Fathur Rokhman mengeluarkan pernyataan bahwa tulisan Zakki Amali secara yuridis formal bukanlah karya jurnalistik karena jurnalis tersebut menggunakan sumber informasi sepihak dari narasumber.
Tampaknya apa yang dinyatakan Hendi itu masih bisa dipersoalkan. Benar bahwa dalam salah satu poin prinsip etika jurnalistik, jurnalis dituntut menulis dengan memberikan ruang bagi pihak-pihak yang terkait dalam pemberitaan. Seyogianya Zakki memasukkan tanggapan Rektor atas dugaan plagiarisme yang menimpanya.
Namun, kekurangan yang dilakukan sang jurnalis telah teratasi lewat pemuatan sanggahan dari pihak Unnes di Serat.id. Dengan memberikan hak jawab, persoalan ini semestinya dianggap selesai, jika persoalannya dipandang dalam perspektif akademis.
Apalagi pada tataran internal Unnes, kasus yang bermula dari dugaan Saratri Wilonoyudho, dosen Unnes, itu sudah tertangani lewat cara-cara akademis.
Setelah angkat bicara terkait isu dugaan plagiarisme oleh Rektor Unnes Fakthur Rohman, Saratri pun diadili lewat sidang etik oleh Majelis Profesor di almamaternya.
Yang menarik, Saratri yang divonis menyinggung alias menyindir rektornya itu mempertanggungjawabkan dugaannya dengan memperlihatkan bukti-bukti ilmiah.
Dia melakukan komparasi karya ilmiah yang ditulis Fathur Rokhman dan artikel lain yang diduga menjadi landasan plagiarisme.
Artikel yang ditulis oleh Fathur Rokhman menggunakan judul Kode Bahasa dalam Interaksi Sosial Santri: Kajian Sosiolinguistik di Pesantren Banyumas terbitan Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra dan Pengajaran (Litera) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Volume 3 Nomor 1 Tahun 2004.
Sementara artikel yang diduga dijadikan landasan menjiplak adalah karya Anif Rida dengan judul Pemakaian Kode Bahasa dalam Interaksi Sosial Santri dan Implikasinya bagi Rekayasa Bahasa Indonesia: Kajian Sosiolinguistik di Pesantren Banyumas, yang terbit dalam prasidang Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta tahun 2003.
Jika disimak dari teli-temali kasus yang akhirnya menggelinding ke ranah luar kampus ini, pihak Unnes mestinya bisa menghentikannya lewat forum atau sidang etik Majelis Profesor saat mengadili Saratri.
Majelis Profesor perlu meneliti apakah benar ada indikasi atau bukti-bukti yang tak terbantahkan tentang plagiarisme yang dilakukan Fathur Rokhman.
Kumpulan guru besar itu selayaknya tak perlu terpengaruh oleh posisi pimpinan almamater yang dijabat rektor dan membuat kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Jika terbukti bahwa isi kedua artikel itu tidak saling berkait alias mengandung unsur penjiplakan meskipun judul keduanya bermiripan, Majelis Profesor bisa mengukuhkan secara tegas bahwa tak ada plagiarisme di tulisan Fathur Rokhman.
Fathur Rokhman pun cukup memegang kesimpulan dari Majelis Profesor itu dalam menghadapi terpaan dugaan plariarisme yang tak berdasar, baik yang disiarkan secara sindiran di media sosial maupun yang disiarkan secara jurnalistik di media dalam jaringan.
Sebagai pejabat publik, seorang pimpinan lembaga pemerintahan atau lembaga pendidikan memang tak bisa lepas dari dugaan-dugaan yang tak jarang menyebalkan dan menyakitkan. Itulah risiko menjadi pejabat publik.
Fathur Rokhman tak perlu merasa namanya dicemarkan jika dugaan yang dilontarkan kepadanya, baik oleh jurnalis maupun dosen bawahannya, sudah terbukti tak benar, sebagaimana dinyatakan dalam sidang etik Majelis Profesor Unnes.
Ajakan untuk menyelesaikan kasus yang menimpanya di Dewan Pers juga perlu disambut dengan lapang dada. Apalagi Fathur Rokhman sebagai akademisi tentunya menghayati bagaimana sebuah kebenaran verbal harus dicapai lewat dialektika diskusi dan tak perlu diputuskan lewat peradilan kriminal atau pidana.
Jika Fathur Rokhman mengikuti ajakan Dewan Pers untuk menuntaskan kasusnya di forum mediasi lewat Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, dia setidaknya juga akan dicatat oleh publik sebagai akademisi yang punya andil dalam memperjuangkan kemerdekaan berekspresi.
Sebaliknya, bila dia bersikap "ngotot" untuk tetap memperkarakan karya jurnalistik itu di ranah pidana khusus, dia akan dicatat oleh publik sebagai pihak yang ikut menjadi bagian dari kekuatan yang mengancam kemerdekaan pers.
Tampaknya, semua itu terpulang pada pilihan rasional Rektor Unnes yang tentu diharapkan ikut menciptakan iklim kemerdekaan pers di Tanah Air. (ant)
Advertisement