Ketika Erika Ingin Wortel Yang Pendek
”Tidak takut nih naik Lion?,” tanya saya. Selasa pagi kemarin. Sehari setelah kejadian Lion jatuh di laut. Utara Karawang.
”Bismillah saja,” jawab Erika Eriyanti. Petani cerdas dari Batu, Malang. ”Ini kan paket. Bersama teman-teman ini,” tambahnya.
”Saya juga naik Lion kok,” kata saya. ”Ini, bersama istri. Mau ke Samarinda,” kata saya lagi. Sambil memperkenalkan istri saya. Yang asli Samarinda.
”Oh ini ibu yang pandai masak itu ya,” ujar Lukman Afandy, yang mimpin rombongan petani Batu itu.
”Dari mana tahu?,” tanya saya.
”Saya baru baca postingan Ricky Elson. Yang katanya baru dijamu masakan bu Dahlan. Rendang kambing,” katanya.
”Terinspirasi pak William Wongso. Yang bisa bikin rendang unta,” kata istri saya.
Rombongan Erika itu lagi mau ke Berastagi, Sumut. Ingin melihat petani holtikultura di sana. Bagaimana bisa tanam wortel jenis baru. Yang seperti wortel impor.
”Harga jual wortel Berastagi itu bagus banget. Hampir dua kali lipat wortel kami di Batu,” ujar Erika.
Alam Berastagi mirip batu. Sama tingginya. Sama sejuknya.
Mereka belum tahu wortel Berastagi itu jenis apa. ”Kami menyebutnya wortel pendek,” katanya. ”Wortel kami panjang-panjang,” tambahnya.
Harga wortel pendek bisa Rp 13 ribu/kg. Sedang wortel Batu hanya Rp 7 ribu. Harga saat ini. Di lokasi kebun.
Erika tahu semua itu dari pedagang. Yang datang ke Batu. Ingin kulakan.
Tapi tidak ada petani Batu yang menanam wortel pendek. Tidak ada yang tahu jenis wortel ini. Padahal petani Berastagi sudah lama memasuki wortel pendek. Sejak lebih dua tahun lalu.
Dalam rombongan Lukman ini ada sekitar 10 orang. Ada yang dari lereng gunung Bromo. Suku Tengger. Yang bahkan belum bisa menanam wortel. Mereka hanya tahu menanam kentang. Seumur hidupnya. Sejak kakek-neneknya dulu.
Ada pemicu lain: pasar wortel Surabaya diserbu wortel pendek. Lama-lama pasar wortel panjang terdesak. Disrupsi juga sampai ke wortel.
Erika ingin sekali berubah. Ia bicara dengan Lukman. Cari sponsor. Agar bisa berangkat ke Medan. Lalu ke Berastagi. Selama ini para petani kentang-wortel sudah mencintai saprodi Bayer. Mereka ingin giliran Bayer membalas cinta mereka.
Lukman, alumni teknologi pertanian Universitas Jember meresponsnya. Ia sudah 10 tahun di Bayer. Sejak lulus kuliah dulu.
Erika adalah petani jenis baru. Dia hanya lulusan SMA Negeri. Di Lawang. Otaknya encer. Dulunya hanya pegawai toko. Yang jualan sarana produksi pertanian. Di toko saprodi itu Erika di bagian kasir. Erika jadi kenal dengan pegawai lain di toko itu. Yang tugasnya angkat-angkat barang. Menikah.
”Itu suami saya pak,” katanya. Menunjuk lelaki yang berdiri agak jauh.
Yang ditunjuk mendekat. ”Kalau saya orang bodoh pak,” kata sang suami. Merendah.
Dulu ia bekerja sebagai pemerah susu sapi. Milik orangtuanya. Harga susu terus merosot. Kalah dengan susu impor. Peternak sapi-perah kian terdesak. Padahal Batu-Pujon adalah rajanya. Dulu.
Sapi-sapi itu dijual. Terpaksa cari pekerjaan lain. Jadi tukang angkat di toko tuannya itu.
Kini suami-istri itu jadi petani. Jadi tuan untuk diri mereka sendiri. Tanahnya sudah 9 ha. Tersebar di beberpa lokasi. Yang dibeli secara bertahap.
Lima belas tahun lalu, Batu dilanda hama. Kentang hancur. Tanam. Hancur lagi. Tanam lagi. Hancur lagi. Banyak petani menderita. Jual tanah mereka.
Itu karena penanaman yang terus menerus. Dari kentang ganti kentang. Lalu ganti kentang lagi.
Ada petani yang menemukan cara. Tanah kebun itu dicangkul lebih dalam. Tanahnya dibalik. Tidak bisa dengan cangkul biasa. Kurang dalam. Harus dengan alat berat. Eskavator. Mahal sekali.
Itulah sebabnya petani seperti Erika berubah. Menggilir lahannya. Antara kentang dan wortel. Tapi tahunya ya wortel panjang itu.
Bahkan di kentang pun Erika ingin berubah. Pasar menghendaki ukuran tertentu. Yang pas dengan mesin pengolah di pabrik. Kentang Batu ukurannya agak kebesaran. Tapi Erika belum tahu caranya.
Ada yang juga ingin dipelajari di Berastagi: menggunakan mesin packaging. Tidak satu pun petani wortel Batu yang sudah masuk ke tahap itu.
Erika ingin berubah: beli mesin cuci dan mesin pack. Agar wortelnya bisa masuk pasar. Sudah dalam bentuk bersih. Dan dalam kantong plastik yang rapi.
Petani seperti Erika kelihatannya kian mandiri. Mencari cara sendiri. Untuk semua persoalannya. Agar lebih maju. Tanpa bantuan siapa pun. Termasuk bantuan dari pemerintah, misalnya pemerintah Tiongkok.
Jam sudah menunjukkan pukul 5.45. Erika dkk boarding ke Lion Medan. Saya boarding ke Lion Balikpapan. Sampai di atas pesawat buru-buru saya tulis naskah ini. Takut keburu pilotnya minta ijin balik ke landasan. (dis)