Ketika Cah “NUhammadiyah” Masuk PBNU
Oleh: Najib Azca
Ketika Ketum PBNU Gus Yahya Cholil Staquf mengumumkan kepengurusan PBNU masa khidmat 2022-2027 pada 12 Januari 2022, info segera menyebar di berbagai media massa maupun media sosial. Juga di grup-grup WA.
Ketika nama Najib Azca disebutkan menjadi Wakil Sekjen PBNU di sejumlah grup WA muncul komentar kaget dan terkejut. Di sebuah grup dosen UGM, seorang guru besar ilmu politik berkomentar pendek: “hebat ya, seorang Muhammadiyah bisa masuk PBNU.”
Komentar itu bukan satu-satunya. Sejumlah orang, bahkan yang terhitung lumayan dekat denganku, mengira aku warga Muhammadiyah. Tampaknya, salah satu faktor utama penyebabnya adalah: kangmasku, A Hakam Naja, merupakan pengurus DPP PAN. Bahkan, dia juga sempat menjadi anggota dan pimpinan Komisi di DPR RI dari PAN selama 2 periode. Dia juga sempat dicalonkan menjadi kandidat Walikota Pekalongan dalam Pilkada oleh PAN meski tidak terpilih.
Begitulah bagi sebagian orang: PAN identik dengan Muhammadiyah. Karena Hakam Naja orang PAN maka dia ya mestinya orang Muhammadiyah. Demikian juga adiknya, si Najib Azca tadi
Bahkan, dalam sebuah seminar oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang dihadiri Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir beberapa bulan lalu, sebagai pembicara aku diperkenalkan oleh moderator sebagai “seorang intelektual muda Muhammadiyah”.
Alhamdulillah.
Padahal kami dilahirkan dan dibesarkan di keluarga NU. Setiap sholat Subuh Bapakku membaca doa qunut. Tahlil, shalawat dan ziarah kubur juga merupakan tradisi yang akrab di keluarga kami.
Masjid Jami Kauman Pekalongan, yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari rumahku, setiap menjelang subuh selalu mengumandangkan bacaan tarhim untuk membangun warga—sebuah tradisi di masjid NU. Di masjid itu pula setiap bulan Ramadhan sholat Tarawih dilakukan 23 rakaat—berbeda dengan masjid Muhammadiyah yang hanya 11 rakaat.
Di sebuah grup WA keluarga besar, ketika berita tentang diriku yang diangkat menjadi Wasekjen PBNU beredar, seorang Bu Lik (adik Bapakku) menulis begini:
“Selamat buat doktor Najib Azca bin H. Ali Amin atas terpilih sebagai wakil sekjen PBNU masa khidmat 2022- 2027. Dulu Bapake bendahara NU cab dan Bu'e bendahara Muslimat NU cabañg [Pekalongan]. Mbah Hj Nadhiroh ketua MUSLIMAT NU cabang. Hj. Faridah Zarkasi temannya Nyai Hj. Mahfudhoh Aly Ubaid (Mustasyar)."
Demikianlah. Meski acap dianggap sebagai “orang Muhammadiyah” sesungguhnya diriku memang lahir dan besar di keluarga NU ‘deles’. Seperti yang kutulis dalam sebuah catatan sekitar setahun lalu menjelang peringatan Hari Lahir (Harlah) NU ke-95: darah NU mengalir kuat dalam diriku. Dari Bapak dan Bue, juga dari Simbah-Simbahku.
Catatan yang kubuat di FB itu kemudian diolah dan diunggah di ngopibareng.id oleh Cak Moh Anis, sohib lawas zaman aku jadi jurnalis di tabloid DeTIK.
Memang, dalam fase pertumbuhan di masa remaja aku terlibat aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Bahkan sempat menjadi Ketua Umum Pengurus Daerah (PD) PII Kota Pekalongan periode 1983-1985. Nah, karena menjadi aktivis PII itulah maka citra yang melekat padaku lebih terasosiasi sebagai “aktivis Islam non-NU”.
Secara historis PII memang dikenal sebagai “anak partai Masyumi” (seperti juga Himpunan Mahasiswa Islam alias HMI dan Gerakan Pemuda Islam alias GPI). Meski salah kaprah, aktivis PII acap dianggap lebih dekat dengan lingkaran kultural Muhammadiyah ketimbang NU.
Sebenarnya lumayan banyak aktivis PII yang berasal dari keluarga NU, selain juga dari kalangan Muhammadiyah, Persis dan Al-Irsyad. Sehingga temanku di PII banyak yang berasal dari kalangan “Islam modernis” seperti Muhammadiyah, Persis dan Al-Irsyad.
Karena lingkaran pergaulan yang campur-aduk itulah maka aku kadang disebut sebagai aktivis “NUhammadiyah” atawa “MuhammadiNU”: aktivis Muslim yang merupakan produk oplosan atau hibrida dari kultur NU dan Muhammadiyah.
Demikianlah, akhirnya aku memang “kembali ke pangkuan NU”—antara lain, atau terutama, melalui pergaulan dan pergumulan kebangsaan yang panjang dan seru melibatkan Gus Yahya dan Gus Ipul sejak zaman kuliah dulu.
* Najib Azca, Guru Kecil di Kampus UGM
Advertisement