Keterbatasan Guru Kendala Bagi Sekolah Inklusi
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengembangkan pendidikan inklusi untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada anak berkebutuhan khusus (disabilitas) pada pendidikan formal. Namun pada praktik di lapangan, banyak sekolah menemukan kendala keterbatasan guru (SDM) untuk siswa berkebutuhan khusus.
Data Desember 2023, menunjukkan terdapat 40.164 satuan pendidikan formal yang memiliki peserta didik berkebutuhan khusus, namun hanya 5.956 satuan pendidikan (14,83%) yang memiliki guru pembimbing khusus.
“Inilah yang melatarbelakangi dikembangkannya Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif. Tujuannya adalah menghasilkan pendidik yang dapat mewujudkan pembelajaran dan pendidikan yang inklusif di satuan pendidikan,” jelas Meike Anastasia, Koordinator Kelompok Kerja Pendidikan Inklusif, Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kemendikbudristek pada media gathering bersama Forum Wartawan Pendidikan (Fortadik) Minggu, 7 April 2024.
Kebijakan Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif ini, menurut Mieke, akan memberikan akses dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh pendidik Indonesia untuk melakukan pengembangan keprofesian tentang pendidikan inklusi sehingga dapat mewujudkan pembelajaran dan pendidikan yang inklusif di seluruh satuan pendidikan di Indonesia.
“Pembelajaran dilakukan secara mandiri oleh pendidik/tenaga kependidikan melalui Pelatihan Mandiri di Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang dapat diakses pada: https://guru.kemdikbud.go.id/pelatihan-mandiri/topik/115,” tambahnya.
Anak-Anak Berkebutuhan Khusus
Adapun skemanya adalah, pada tingkat dasar guru memiliki paradigma tentang pendidikan yang berpihak kepada semua murid termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. Lalu pada tingkat lanjut, guru diharapkan mampu untuk memfasilitasi pembelajaran untuk semua peserta didik, termasuk peserta didik berkebutuhan khusus. Dan pada Tingkat mahir, guru diharapkan dapat berperan sebagai konsultan dalam pengembangan pembelajaran dan advokasi pendidikan yang inklusif.
Melalui kebijakan Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif, Mieke yakin persoalan kurangnya SDM guru pembimbing khusus di sekolah-sekolah inklusi bisa diatasi. Dengan demikian tidak akan ada lagi anak berkebutuhan khusus yang tidak bisa mengakses pendidikan formal dengan alasan terbatasnya satuan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus.
Data menunjukkan saat ini hanya 64% dari perkiraan jumlah anak penyandang disabilitas yang bersekolah. Alasannya antara lain biaya, learned helplessness, dan penolakan dari sekolah. “Penolakan sekolah biasanya karena alasan guru pembimbing khusus tidak ada,” jelasnya.
Meskipun kurikulum merdeka selaras dengan prinsip inklusivitas, kata Mieke, pada kenyataannya tidak semua sekolah dapat memberikan “teaching at the right level” dan pembelajaran berdiferensiasi untuk semua peserta didik. Itu mengapa melalui kebijakan Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif, diharapkan tidak ada lagi penolakan sekolah terhadap siswa berkebutuhan khusus dan pada akhirnya semua anak-anak berkebutuhan khusus bisa mendapatkan hak pendidikannya sesuai Undang-undang. Mereka tidak harus sekolah di SLB yang jumlahnya memang terbatas.
“Dalam satu rombongan belajar, maksimal hanya ada 3 siswa berkebutuhan khusus yang diizinkan. Jadi memang disesuaikan dengan kemampuan guru pendamping khusus di lapangan,” tandas Mieke.
Meskipun semua anak berkebutuhan khusus berhak mengakses pendidikan inklusi ini, tetapi ada kriteria anak berkebutuhan khusus yang bisa berbaur dalam kelas reguler sekolah inklusi. Karena kebutuhan siswa lain untuk mendapatkan pengajaran yang baik dan nyaman juga tetap harus mendapatkan perhatian tanpa mengurangi hak anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan.
Advertisement