Ketentuan Perzinahan RUU KUHP Berpotensi Mengkriminalisasi Korban
Komisioner Komnas Perempuan Azriana Manalu mengatakan perluasan pasal zina dalam Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terutama Pasal 484 ayat 1 huruf e dan Pasal 484 ayat 2 berpotensi mengkriminalisasi korban tindak pidana perkosaan.
Dalam pasal 484 ayat 1 huruf e disebutkan "Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan".
Sementara, kta dia di Jakarta, Kamis, 1 Januari 2018, pasal 484 ayat dua menyebut tidak pidana sebagaimana dimaksud ayat satu tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar.
Menurut Azriana Manalu, kriminalisasi perzinahan justru akan mengurangi efektivitas hukuman terhadap perkosaan.
"Ketika perempuan korban perkosaan sulit membuktikan tindak pidana tersebut, perempuan itu bisa dituduh melakukan perzinahan," kata Azriana.
Tak hanya mengkriminalisasi korban perkosaan, pengesahan pasal ini juga bisa menjerat anak terpapar seksual akibat kegagalan pengasuhan hingga pasangan yang menikah tanpa surat nikah.
Sementara di Indonesia masih banyak pasangan menikah yang tidak memiliki dokumen pernikahan karena berbagai alasan, seperti penganut kepercayaan yang tidak diakui negara, tidak dicatatkan, hingga pasangan di daerah terpencil yang kesulitan mendapatkan akses ke layanan pemerintah.
"Beberapa suku pedalaman juga masih ada yang menganggap bahwa perkawinan mereka tidak perlu dicatat sehingga mereka tidak memiliki surat nikah," kata dia.
Belum lagi ketegangan sosial dan penyebaran fitnah yang bisa dilakukan lewat perluasan pasal ini.
"Potensi penggerebekan atas tuduhan zina dan aksi main sendiri oleh siapapun yang menganggap dirinya pihak ketiga yang tercemar," kata dia.
Berdasarkan pertimbangan ini, dia pun menyarankan agar Pasal 484 ayat 1 huruf e dan pasal 484 ayat dua dihapus.
"Ini juga Bertentangan dengan Buku I RUU KUHP, yang melarang analogi. Buku I RUU KUHP menegaskan kebutuhan norma pemidanaan yang tegas dan tidak multitafsir.
Sementara itu ketentuan Pasal 484 ayat (1) huruf e RUU KUHP masih mengandung norma yang multitafsir terkait pemaknaan perkawinan yang sah," kata dia. (ant/frd)