Kesulitan Puasa di Negara Minoritas Muslim
Kesulitan Puasa di Negara Minoritas Muslim
Oleh: M. Noor Harisudin
Direktur World Moslem Studies Center, Guru Besar UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, Wakil Sekretaris PWNU Jawa Timur dan Dai Internasional Jepang Tahun 2025
Gegap gempita ibadah puasa tahun 1446 H/2025 ini tetap saja terasa di berbagai negara minoritas Muslim, meski suasananya tidak seramai di Indonesia. Diaspora Muslim menjalankan puasa Ramadan di tengah aktivitas kerja rutin sehari-hari. Mereka baru dapat berkumpul ketika weekend, Sabtu dan Minggu dengan ramai-ramai buka bersama dan Salat Tarawih berjamaah di masjid-masjid.
Namun, hari-hari lainnya (Senin-Jum'at) Diaspora Muslim merasa sepi. Hari Ramadan sama dengan hari selain bulan Ramadan. Ada rindu dengan religiusitas yang mereka impikan saat dulu masih di Indonesia. Karena rasa gersang juga menyelimuti mereka, entah sampai kapan. Di beberapa negara seperti Taiwan, Diaspora Muslim mengobatinya dengan mengadakan khataman Qur'an secara on air setiap harinya.
Secara umum, negara minoritas Muslim telah memberi kebebasan beragama pada rakyat dengan baik. Toleransi juga dilakukan pada Muslim yang berpuasa, meski sesungguhnya demikian itu tidak cukup. Karena masih terdapat banyak kesulitan Muslim dalam menjalankan ibadah puasa.
Setidaknya ada banyak kesulitan Muslim dalam menjalankan ibadah puasa di negara minoritas Muslim sebagaimana berikut:
Pertama, kesulitan karena waktu yang lebih panjang dalam berpuasa. Indonesia termasuk beruntung karena berpuasa hanya 14 jam. Beberapa negara ada yang berpuasa 17 hingga 20 jam sehingga membuat masyaqat sendiri bagi Diaspora Muslim yang berpuasa.
Hadapi Cuaca Ekstrem
Kedua, kesulitan karena cuaca ekstrem. Musim dingin adalah musim dimana puasa yang lebih enak dibanding musim panas. Meski demikian, Muslim tetap kesulitan karena harus punya effort yang tinggi untuk menjalani ibadah puasa.
Ketiga, kesulitan karena budaya yang tidak mendukung. Berpuasa di tengah banyak orang yang tidak berpuasa, menjadikan tantangan tersendiri bagi seorang Muslim. Apalagi umumnya masih banyak orang lokal (luar negeri) yang belum memahami makna puasa itu sendiri.
Keempat, kesulitan makanan halal yang benar-benar sesuai syariat. Artinya, makanan halal yang benar halal adalah kesulitan lain ketika Muslim mau berbuka puasa. Oleh karenanya, yang paling aman adalah menyiapkan makanan halal dari rumah dengan cita rasa Nusantara.
Kelima, kesulitan terbatasnya jumlah masjid. Demikian ini menjadikan ke masjid merupakan barang mewah. Tak heran, untuk pergi ke masjid, mereka membutuhkan waktu satu hingga dua jam sehingga mereka harus menunda sholat sholat maghrib atau tarawihnya karena menunggu jama'ah datang.
Ke enam, kesulitan pekerjaan lapangan yang membutuhkan tenaga lebih dibanding mereka yang bekerja di kantor atau perusahaan. Sebagian Diaspora Muslim bekerja di lapangan yang menjadikan mereka harus menyesuaikan puasa dengan pekerjaan lapangan mereka.
Secara fikih, kesulitan ini menjadikan Muslim mendapatkan keringanan (rukhsah) selama Ramadan. Selain keringanan lain dalam puasa seperti bolehnya tidak berpuasa ketika musafir, Muslim minoritas juga mendapatkan rukhsah (dispensasi) lain terkait puasa.
Misalnya bolehnya tidak berpuasa bagi orang yang bekerja di lapangan karena masyaqat. Hanya orang ini malam hari harus tetap berniat dan sahur untuk puasa besok. Soal besok dia membatalkan puasa, dia tidak berdosa meski harus tetap mengqadlanya di hari lain.
Rukhsah ini kebalikan dari azimah yang merupakan hukum asal yang berlaku untuk siapa saja dan berlaku universal. Jumlah bilangan sholat lima waktu dan kewajiban puasa Ramadan adalah azimah. Sementara mengqashar dan menjamak sholat ketika bepergian serta bolehnya membatalkan puasa karena udzur adalah rukhsah.
Ini yang disebut dengan Fikih Aqalliyat atau Fikih Minoritas Muslim. Menurut Bin Bayah, Fikih Minoritas adalah hukum syar'i yang berhubungan dengan Muslim yang tinggal di luar negara Islam (2021).
Dengan segala keterbatasan, menurut Fikih Minoritas, Diaspora Muslim tetap menjalankan ibadah puasa sesuai kemampuannya. Di sini, selain ilmu, iman adalah hal penting yang dipedomani menjadi arah Diaspora Muslim dalam menunaikan ibadah puasa tahun ini dan tahun yang akan datang.
Advertisement