Kesejahteraan Pekerja atau Peluang Kerja?
Dari balkon lantai lima Hotel Kempinski saya sempat menyaksikan iring-iringan pendemo. Mereka bersepeda motor dengan di kawal satu mobil berisi soundsystem untuk komando.
Iring-iringan itu hanya melewati bundaran HI Jakarta. Menuju gedung DPR RI di kawasan Senayan. Sebelum aksi yang ricuh di berbagai kota di sore hari. Termasuk aksi bakar ban dan halte bus di sekitar pusat kota Jakarta itu.
Kamis, 8 Oktober 2020, memang menjadi puncak aksi protes pengesahan UU Cipta Kerja yang juga dikenal UU Omnibus Law. UU yang diharapkan bisa membangkitkan perekonomian Indonesia.
Inilah aksi massa yang cukup besar di masa pandemi Covid-19. Bahkan, berlangsung ketika di Jakarta sedang diberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) untuk kesekian kalinya.
Jumlah kasus Covid-19 yang meningkat paska new normal membuat Gubernur Anis Baswedan pilih kebijakan itu lagi. Untuk mengendalikan penyebaran virus yang mendunia ini.
Hotel-hotel sepi. Pusat perbelanjaan tak banyak orang. Jalanan lengang. Tak ada kemacetan. Yang terakhir ini membuat tinggal di Jakarta saat ini nyaman. Tak harus habis waktu di jalanan.
Yang susah jika ingin makan. Semua restoran tak boleh menerima pelanggan makan di tempat. Hanya boleh pesan dan dibawa pulang. Take away, namanya. Ini yang menyusahkan.
Rata-rata hotel hanya beroperasi sepertiga dari kamar yang dimiliki. Termasuk Hotel Kempinski di Bundaran HI. Tempat menginap jika saya bertugas sebagai konsultan perusahaan asing.
Restoran dan coffee hotel sudah tiga minggu tidak boleh buka. Demikian juga fasilitas lain seperti gym maupun kolam renang. Kadang-kadang sarapan pun dengan layanan kamar.
Karena itu saya paham kalau Bos Djarum sempat berkirim surat terbuka ke Gubernur DKI. Sebab, dialah pengelola hotel bersejarah beserta BCA Tower, Kempinski Residence dan Grand Indonesia yang menjadi satu kesatuan ini.
Dari sisi pencegahan penyebaran virus Corona ini, Jakarta tampak serius. Setidaknya selama PSBB kali ini. Tak ada restoran dan hotel yang berani melanggar. Meski mereka harus menanggung resiko kerugian yang besar.
Lalu terjadilah aksi demonstrasi yang anarkhis itu. Semoga kasus covid-19 tak meledak lagi karenanya. Anarkhis karena di beberapa daerah terjadi perusakan dan bentrok dengan aparat.
Bahwa ada yang tidak puas dengan pengesahan UU yang telah digedok parlemen itu hal yang biasa. Penyampaian aspirasi dilindungi undang-undang. Tapi jika sampai ricuh itu yang disesalkan.
Saya tak ingin ikut berprasangka unjuk rasa memprotes UU Cipta Kerja ini ditunggangi. Sehingga jadi ricuh dan terjadi perusakan di beberapa kota. Saya ingin melihatnya dari sisi yang lain.
Sebetulnya sudah sejak lama terjadi perbedaan paradigma antara pemerintah dan kelompok pekerja. Khususnya dalam melihat persoalan ketenagakerjaan di Indonesia. Biasanya suara pekerja diwakili para aktifis serikat pekerja.
Para aktifis cenderung melihat masalah ketenagakerjaan pada kesejahteraan mereka. Bagaimana kesejahteraan pekerja meningkat. Karena itulah, unjuk rasa tahunan selalu terjadi saat penentuan Upah Minimum Regional (UMR) maupun Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK).
Sementara isu yang selalu muncul dari pemerintah adalah bagaimana mengurangi tingkat pengangguran. Bahkan isu ini selalu dianggap paling seksi dalam menggaet dukungan politik setiap pemilu berlangsung. Apakah saat pemilihan presiden maupun kepala daerah.
Isu menciptakan lapangan kerja biasanya lebih diminati calon pendukung dibandingkan dengan isu peningkatan kesejahteraan pekerja. Hal ini tidak hanya untuk warga Indonesia, tapi juga di negara maju seperti Amerika Serikat.
Karena itu, program yang ditawarkan para kandidat adalah bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga memberi peluang kesempatan kerja lebih luas. Salah satunya adalah dengan mendorong investasi besar-besaran.
Sedangkan para pekerja sejak dulu tetap berkutat bagaimana menaikkan upah dan kesejahteraan pekerja. Apalagi kemudian ada kewajiban iuran bagi pekerja anggota serikat pekerja yang jumlahnya tidak tunggal.
Saya pernah berdebat keras dengan ketua federasi serikat pekerja soal ini. Sejak 15 tahun lalu. Berdebat setiap tahun jelang penentuan UMK. Umumnya mereka ingin UMK naik setinggi-tingginya. Sementara pemerintah memilih moderat karena harus mempertimbangkan aspirasi para pengusaha.
Problem penciptaan lapangan kerja merupakan tantangan yang harus dihadapi pemerintah sejak dulu. Bagi pemerintah, dengan menyediakan banyak lapangan kerja akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sekaligus akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Ini juga yang melatarbelakangi lahirnya UU Cipta Kerja. Presiden Joko Widodo yang mengungkapkan sendiri. Sehari setelah aksi protes pengesahan itu merebak di mana-mana. Termasuk di Surabaya yanh sempat merusak tempat usahanya istri saya.
Presiden bilang, setiap tahun, ada 2,9 juta penduduk usia kerja baru yang masuk pasar kerja. Di tengah pandemi ini, ada 6,9 juta pengangguran dan 3,5 juta pekerja yang mendesak. Kebutuhan lapangan kerja baru sangat mendesak.
"UU Cipta Kerja bertujuan menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. UU ini menyederhanakan sistem perijinan, memangkas regulasi yang tumpang tindih, serta prosedur yang rumit," katanya.
Kebutuhan lapangan kerja sebanyak-banyaknya fakta. Ruwetnya perijinan dirasakan pengusaha sejak lama. Regulasi timpang tindih itu menjebak dan menyulitkan. Prosedur rumit biki investor enggan melirik negeri kita.
Paradigma penciptakan lapangan kerja lewat investasi menjadi dasar setiap pemerintahan melangkah. Apalagi sedang dihantam pandemi yang bisa membuay negara resesi ekonomi seperti sekarang ini.
Logikanya sederhana. Dengan semua orang bekerja, maka daya beli akan terus bertambah. Dengan daya beli bertambah, maka industri akan tumbuh. Setelah industri tumbuh, pertumbuhan ekonomi akan terjadi.
Sementara bagi pekerja, lapangan kerja saja tidak cukup. Apalagi jika upah pekerja harus berkejaran dengan tingkat inflasi. Maka perjuangan para pekerja selalu bagaimana agar setiap tahun upah mereka bertambah. Apalagi jauh melampaui tingkat inflasi.
Persoalannya, mungkinkah para pengusaha mampu menaikkan upah buruh setiap tahun? Ini yang selalu menjadi perdebatan setiap tahun. Yang perdebatannya sering disertai dengan aksi unjuk rasa pekerja setiap penentuan UMR dan UMK.
Dua paradigma yang berbeda dalam melihat ketenagakerjaan ini yang selalu menjadi biang ribut tahunan antara pemerintah dan serikat pekerja. Padahal, kedua-duanya sangat penting. Baik kesejahteraan pekerja maupun peluang kerja.
Barangkali saatnya menggeser paradigma perjuangan di kalangan serikat pekerja. Yakni bukan hanya memperjuangkan kesejahteraan pekerja, tapi juga ikut menciptakan iklim kerja yang lebih produktif. Sebab, inilah yang menjadi tantangan persaingan dunia kerja saat ini.
Peran advokasi penting. Tapi itu hanya diperuntukkan terhadap perusahaan yang memang tidak memperlakukan pekerjanya secara baik. Tapi terhadap pekerja di perusahaan yang baik, peran serikat perlu digeser dalam pembinaan produktifitas pekerja.
Di sisi lain, pemerintah memang harus terus membangun iklim investasi bagi penciptaan lapangan kerja baru. Dan ini tentu tidak hanya akan selesai dengan lahirnya UU Cipta Kerja. Masih banyak pekerjaan turunan setelah ini.
Ini baru langkah awal yang dimulai dengan gagah berani oleh Presiden Jokowi. Selanjutnya diperlukan kolaborasi semua pihak untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik lagi.
Jadi, memperjuangkan kesejahteraan pekerja atau menciptakan peluang kerja? Semuanya perlu berjalan bersama. Tapi tak mungkin kesejahteraan bersama akan tercipta tanpa peluang kerja yang banyak.
Advertisement