Kesederhanaan Menimba Ilmu, Pengalaman di Pesantren
Seorang santri mendapat kiriman Wesel 1000 rupiah, bisakan bertahan untuk sebulan? Inilah catatan KH Husein Muhammad. Hidup sederhana menjadi ciri khas menempuh pendidikan di pondok pesantren di masa lalu. Hal itulah yang menjadi hikmah keteladanan penting pada zaman itu.
Kini, tentu saja, berbeda dengan dulu. Kini, kebutuhan hidup di pesantren justru wajib terpenuhi dengan alasan, agar santri bisa belajar lebih fokus dan konsentrasi.
Tentang masa lalu dan hidup sederhana, penuh laku riyadhoh, berikut catatan KH Husein Muhammad. Ulama pesantren yang dikenal sebagai karib KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur, almaghfurlah). (Redaksi)
Mendengar ceritaku, bola mata dua anakku berkaca-kaca, mengembang embun, lalu memelukku, tanpa bisa berkata apa-apa. Aku membiarkannya saja. Bungsuku bertanya, berapa rupiah kah kiriman wesel untuk buya dari buyanya buya (Kakek) setiap bulannya?. Aku mengatakan, Rp.1000,- (seribu rupiah). “Buya menerima saja pemberian kakekmu berapapun, dan tidak mengeluh apa-apa, apalagi marah-marah”, karena memaklumi keadaan.
Lalu aku beritahukan bahwa kakek mereka (ayahku) hanyalah seorang guru ngaji dan mengajar di madrasah Tsanawiyah Negeri yang didirikan Kiai Abdullah Syathori (buyut), pendiri pesantren Arjawinangun. Kakek Muhammad terpaksa menjadi PNS. Sebenarnya menjadi pegawai negeri bukanlah cita-citanya, dan tak diinginkannya. Pada masa itu dalam etika pesantren dan pandangan para kiyai, belajar diarahkan bukan untuk menjadi pegawai pemerintah, melainkan semata-mata untuk mencari ilmu dan menghilangkan kebodohan. Mereka, para ulama dulu itu, sangat berusaha menghindari menerima gaji dari Negara, karena konon “syubhat” (tak jelas), halal haramnya.
Mereka sangat menganjurkan agar mendapatkan uang dari kerja dan usaha yang betul-betul jelas halalnya. Ayahku juga sudah melaksankan anjuran itu, tetapi selalu gagal. Akhirnya terpaksa menerima menjadi pegawai negeri yang saat itu mudah dan tidak ada pungutan apapun. Tapi nanti kalau dapat bagian beras, hendaklah beras itu dijual, lalu uangnya dibelikan beras di pasar. Lucu juga ya?.
Laku Kesederhanaan dalam Keluarga
Sementara nenek mereka (ibuku), hanya mengajar baca Al-Quran pada santri putri dan di rumah saja. Kadang-kadang menjahit kalau ada pesanan tetangga, dan itu juga bila ada waktu luang.
Nah, kemudian dari jumlah seribu rupiah itu aku hanya menerima Rp. 800,- (delapan ratus rupiah), karena sudah dipotong untuk iuran pesantren dan madrasah. Uang 800 rupiah ini kemudian digunakan untuk membeli beras 12 kg, lauk-pauk sebulan dan minyak tanah. Jumlahnya Rp. 600,- (enam ratus rupiah). Sisanya, sebagian untuk membeli makanan kecil “sukro”, kacang tanah goreng dan air teh manis satu mug besar. Dengan makanan kecil ini, kami mengundang teman kamar sebelah. Ini tradisi para santri sebagai bentuk “tasykkur”, rasa syukur, berterima kasih kepada Tuhan. Sisanya untuk membeli sabun dan pasta gigi. Maka sesudah itu kami tidak punya uang lagi, dan harus menunggu tiga puluh hari berikutnya.
Begitulah hari-hari kami selama tiga tahun di pesantren. Jika kami sedang malas masak air minum, kami menuju sumur, mengambil timba dan mengulurkannya ke dalam sumur lalu meminum airnya dari tempat itu. Ini telah menjadi umum dan biasa bagi para santri. Dan aku serta mereka sehat-sehat saja. Meski hari ini tak lagi.
Santri minum air mentah dari sumur pondok atau kamar mandi kiai juga terjadi di pesantren kakekku, Kiai Syatori, murid, santri Hadratusyeikh Hasyim Asy'ari, kakek Gus Dur itu.
(20.07.22/KH Husein Muhammad)