Kesantunan Dilupakan, Mulutmu-Harimaumu!
Oleh Erros Djarot
Mulutmu Harimaumu…pepatah kuno ini ternyata tak legam dimakan zaman. Tidak salah bila para pujangga sering melukiskan tentang ‘mulut penuh bisa’ dan ‘lidah tak bertulang’. Ketika keduanya berpadu dalam kerja yang negatif, maka mulutpun menyemburkan berbagai racun-bisa yang mematikan. Bisa membunuh yang tersembur dan seringkali kematian justru dialami sang penyembur.
Peristiwa naas atas racun dan bisa yang menimpa sang penyembur bisa dialami oleh siapa saja. Bisa seorang berpendidikan tinggi hingga yang terendah; bisa warga biasa; bisa politisi dan para pemimpin; bisa menimpa mereka yang dicap sebagai kaum kafir; bahkan bisa menimpa pemuka agama sekaliber pastur, ustaz, dan ulama sekali pun. Semata karena khilaf adalah manusiawi.
Contoh yang mutakhir, masih lekat dalam ingatan dan popular di masyarakat, terjadi pada diri Ahok. Terlepas dari kontroversi salah-benar, terbukti Ahok sempat bermukim di belakang terali besi. Baru-baru ini Ustaz Abdul Somad (UAS) pun dipersoalkan (dilaporkan ke polisi) atas sejumlah kalimat yang meluncur dari mulutnya yang ternyata telah berdampak menusuk jantung keimanan pemeluk agama Nasrani.
Yang paling tragis dan memprihatinkan adalah ketika sejumlah masa dan petugas yang dengan jumawa melontarkan caci maki lewat mulut berbisa ke arah sekelompok mahasiswa asal Papua di Surabaya. Mereka terkepung di dalam asrama tempat mereka tinggal dengan wajah tertekan dan ketakutan. Panggilan ‘monyet’ dan caci maki yang tak layak diucapkan oleh siapa pun, apalagi petugas dan aktivis ormas terpandang, telah disemburkan dari mulut berbisa mereka kepada para mahasiswa Papua yang mencoba bertahan tak melakukan perlawanan.
Awalnya, mereka dituduh menghina dan melecehkan Sang Saka Merah Putih yang sudah mereka sangkal dengan jelas. Oknum petugas dan oknum anggota ormas terus merangseg dan menjebol pagar asrama rumah para mahasiswa asal Papua. Keributan pun terjadi. Video atas peristiwa ini pun menjadi viral di sosial media.
Dalam sekejap saudara kita rakyat Papua yang tinggal di dataran pegunungan, pesisir, hingga kota dan desa di seluruh negeri Cendrawasih, menyeruak ke luar turun ke jalan. Mereka tidak terima disamakan diri dengan binatang: Monyet! Mereka melakukan protes dan menyuarakan solidaritas terhadap adik, kakak, anak-anak mereka yang diperlakukan dengan sangat brutal dengan cacian dan panggilan yang merendahkan martabat rakyat Papua. Mereka pun terdorong merasa tak lagi dianggap manusia dan saudara sebangsa dan setanah air. Seraya mereka pun meneriakkan pekik: Papua Merdeka…Papua Merdeka…Papua Merdeka!!
Tragedi politik yang dahsyat ini, menyedihkannya dipicu oleh mulut-mulut jahil- jahiliah yang tak mengenal kata santun dan kesantunan berperilaku. Dalil kehidupan yang berbunyi…’Mulutmu Harimaumu’ pun berlaku. Harimau Papua meraung sakit. Atas pelanggaran kesantunan kehidupan berbangsa dan bernegara yang terjadi, mulut sang Harimau Papua pun terbuka lebar berniat memangsa mereka yang telah mencampakkan harga diri mereka ke titik nadir.
Dengan mulut menganga menunjukkan taring tajam dan tetesan liur yang haus mangsa, terkaman bukan lagi ditujukan kepada oknum-oknum bahlul pelaku penistaan suku Papua di Surabaya. Harimau Papua mengaung dan meraung tak sudi lagi dilecehkan dan diperlakukan tidak adil. Mereka menggemakan raungan yang menyuarakan referendum dan merdeka sekarang juga!
Ternyata kesantunan yang belakangan mulai meredup dalam kehidupan kita sebagai bangsa, telah mendapat pelajaran berharga dari saudara-saudara kita di Papua. Berkuasa tanpa kesantunan terhadap rakyat sehingga bertindak semena-mena, merasa paling besar karena mayoritas atau pejabat besar, ternyata telah melahirkan peristiwa yang sangat mengerikan. Dan ketika massa rakyat melakukan ‘amok’ karena marah, maka endapan amarah yang lama terpendam pun serempak mendadak sontak meluap dan melahirkan agresivitas tinggi yang tak terbayangkan. Begitulah kira-kira mengapa rakyat Papua dalam sekejap tumpah ruah ke jalanan melakukan aksi yang berakhir anarkis.
Hal yang terjadi di Papua bisa saja terjadi di Ibu Kota dan sekitarnya, ketika para pejabat dan orang-orang kaya kehilangan kesantunan terhadap rakyat kecil. Di mulai dari hilangnya empati terhadap penderitaan rakyat kecil. Janji-janji politik tentang hidup sejahtera dalam keadilan bagi seluruh rakyat yang tak kunjung datang, merupakan salah satu bentuk yang berpotensi melahirkan peristiwa sebagaimana pepatah kuno..Mulutmu Harimaumu.
Dalam kaidah politik, kata santun dan kesantunan tidak sebatas gerak dan ucapan yang sopan dan santun semata. Janji-janji palsu dan sejumlah perilaku korup dan serakah dari para pejabat dan pemimpin merupakan salah satu bentuk perbuatan yang tak santun terhadap rakyat. Membiarkan rakyat hidup dalam ketertekanan ekonomi yang berkelanjutan, juga merupakan perlakuan tidak santun terhadap rakyat. Sedang keberpihakan pemerintah kepada hanya kaum ‘the have’ dan cuek terhadap kaum ‘the have not’ merupakan perilaku kekuasaan yang sangat tidak santun terhadap rakyat (yang substansif).
Nah, bila sejumlah kesantunan dimaksud mulai memudar, bukan tidak mungkin mulut harimau yang lebih besar dengan taring yang lebih besar dari taringnya Harimau Papua, bukan tidak mungkin akan siap menerkam mereka semua yang dianggap melanggar kesantunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan hal ini hanya mungkin atau berpotensi terjadi bila pemerintah lebih mendahukan kepentingan pencitraan ketimbang kenyataan.
Kepemimpinan Jokowi (sebagai pribadi) diyakini mampu membuat Harimau bukan meraung menyuarakan ketidak puasan, tapi sebaliknya tersenyum damai dan dapat tertidur pulas. Namun ketika tampil sebagai presiden yang dikelilingi para tokoh dengan karakter dan tabiat serta tujuan dan kualitas yang berbeda, kemungkinan menjadikan Harimau yang tidur suatu saat bangkit meraung, sangat mungkin terjadi.
Gejala itu belakangan sudah mulai terasa. Karena di wilayah kekuasaan, kesantunan yang diharapkan, hanya dapat dirasakan melalui kenyataan adanya keberpihakan. Lewat kemauan politik (political will) untuk merealisasikan pemberdayaan rakyat secara komprehensif. Pemberdayaan yang nyata di segala bidang inilah merupakan bentuk nyata dari kesantunan dimaksud.
Bila kata ‘pemberdayaan rakyat' tergantikan oleh kata ‘memperdaya rakyat’ --dari penguasa kepada rakyatnya, maka apa yang baru-baru ini terjadi di Papua, bisa terjadi di mana saja dan kapan saja! Hal inilah yang tidak boleh terjadi.
Karenanya kesantunan perlu dirawat dan dijaga. Para penguasa harus tetap ‘eling’ untuk tidak jadi maling. Karena maling milik rakyat dan negara adalah bentuk ketidak-santunan yang tertinggi!
Dan ingat…Mulutmu-Harimaumu!
*Tulisan ini kami kutip sepenuhnya dari Watyutink.com.