Pasien Pertama Sembuh Covid-19 di Cimahi Kehilangan Suami
Selama ini publik dibuat panik dengan cepatnya persebaran virus corona di Indonesia. Tercatat sudah ada 5.923 kasus dengan total 607 pasien sembuh. Meski ada harapan sembuh bagi pasien positif corona, tentu semua orang tak ingin tertular virus yang bermula dari Kota Wuhan, China itu.
Ibu ketiga anak itu tidak menyangka dirinya terpapar virus Sar-Cov-2. Ngopibareng.id jadi tempat curahan hati Helena. Perempuan kelahiran Minahasa itu merupakan pasien pertama yang sembuh dari Covid-19 di Cimahi.
“Suami saya pasien pertama covid-19 yang meninggal. Sedangkan saya, pasien pertama yang sembuh di Cimahi,” ungkapnya, Jumat 17 April 2020.
Sementara itu, belum diketahui jelas awal mula dia terpapar virus. Dugannya, ia tertular setelah mengikuti kegiatan di salah satu tempat ibadah.
Saat mengetahui dirinya positif corona jelas Helena kaget. Sebab, ia termasuk dalam kategori orang tanpa gejala (OTG). Menurut prediksi dokter, Helenalah yang tertular pertama kali. Lalu virus darinya menyebar ke tubuh suaminya.
Kala itu sang suami yang merupakan anggota TNI sedang sakit. Sejak tanggal 9 Maret 2020 dia menunjukkan gejala covid-19. Seperti batuk dan demam tinggi. Saat itu belum ada kecurigaan sama sekali.
Seiring berjalannya waktu, sakit yang diderita suami menjadi semakin parah. Mulai dari bolak-balik ke toilet hingga muntah-muntah. Suami sudah diperiksakan ke dokter dan diberi obat, namun tidak perubahan. Akhirnya, Ibu 47 tahun itu membawa sang suami ke rumah sakit lagi.
Diagnosa pertama suami terndikasi sakit lambung. Tapi sehari kemudian, diagnosa berubah menjadi typus. Mengetahui ini, Helena pun curiga dan khawatir. Dia berpikir untuk melakukan tes corona.
Tak selang beberapa hari sang suami melakukan cek rontgen. Dari hasil tersebut terlihat ada beberapa flek hitam di paru-parunya. Namun jumlah tersebut tidak banyak. Dua hari kemudian dilakukan rontgen ulang dan hasilnya flek semakin bertambah.
Helena dan sang suami memutuskan untuk tes swab pada 19 Maret 2020. Hanya berselang empat hari, keduanya dinyatakan positif mengidap Covid-19.
Trauma di Ruang Isolasi
Sejak diketahui positif, hari itu juga Helena dan suami diisolasi di ruangan khusus. Mereka dibawa di ruang VIP, di mana di dalamnya terdapat dua bed. Ruangan tersebut sangat tertutup dan dikelilingi kaca buram. Dari dalam tidak terlihat orang berlalu lalang. Pun pemandangan hijau yang menyejukkan mata.
Ketiga anaknya tidak diberitahu kalau dia positif karena takut mereka akan dikucilkan. Terlebih, jika mereka ketakutan dan menjadi drop juga.
Di sisi lain, tak seberuntung Helena, kondisi sang suami semakin parah karena ada riwayat diabetes. Pada 23 Maret suaminya menghembuskan nafas terakhir.
Berada di situasi ini memperburuk kondisi Helena. Dia menjadi drop. Sejak tanggal 22 Maret hingga 24 Maret 2020 hari-harinya diisi dengan tangisan dan depresi. Dia merasa kesepian dan sedih, dalam menjalankan isolasi itu dilakukannya seorang diri.
“Saya sejak tanggal 22 hingga 24 Maret 2020 nge-drop. Saya demam, susah makan, badan lemes, dan kepala pusing. Selain itu saya ke toilet terus karena diare” katanya.
Perempuan yang sempat besar di Manado itu menjelaskan lebih lanjut. Mental dan fisiknya terganggu. Dia memendam kepedihan yang teramat dalam. Dia baru saja ditinggal suami dan dia diharuskan diisolasi di tempat di mana sang suami dulunya juga diisolasi.
“Saya tanggal 23 Maret itu teriak seperti orang gila sejak pagi, hingga sore. Saya merasa sendiri banget, saya depresi diisolasi di tempat yang sama dengan suami. Padahal saya baru ditinggalkannya, sehingga berpengaruh ke psikologi dan fisik saya," ungkap Helena.
Karena tidak kuat, akhirnya perempuan yang ramah itu meminta untuk dipindahkan ke ruangan lain. Sayangnya ruangan tersebut masih berada pada satu area dengan kamar VIP dulu. Bedanya, di ruang ini lebih luas seperti aula dan terdapat 16 tempat tidur.
“Saya sempat protes dengan dokternya. Saya bilang kalian gila dan ga punya otak yang mengisolasi saya di sini. Saya trauma, marah dan benar-benar sedih. Akhirnya saya dipindah ke ruangan yang lebih besar,” jelasnya.
Sementara itu, dokter dan perawat yang bertugas hanya datang pada saat tertentu. Seperti pada pukul 10.00 WIB dan 18.00 WIB. Mereka biasanya mengantarkan makanan, obat, buah-buahan, mengecek suhu badan dan tekanan darah.
Helena juga mengingat masa saat suaminya juga masih diisolasi. Dia tak tega melihat suaminya yang menahan rasa lapar dan dahaga karena tidak adanya makanan. Terlebih saat itu, kondisinya yang juga sakit dipaksa merawat suaminya.
“Saya kondisinya juga sakit, harusnya juga dirawat dokter dan perawat. Hebat banget mereka melimpahkan ke saya. Tapi mau gimana lagi, saya juga kasihan lihat suami saya yang nahan makan dan dahaga karena mereka datang jam tertentu saja” kenangnya dengan nada emosi
Namun lambat laun, setelah diberikan penjelasan oleh dokter Helena mengaku memaklumi kondisi tersebut. Sebelumnya tenaga medis di rumah sakit menjelaskan mereka akan tetap memberikan pelayanan yang terbaik. Sayangnya persediaan APD (Alat Pelindung Diri) yang ada terbatas. Sehingga mereka tidak bisa merawat sepenuhnya. APD ini hanya digunakan sekali pakai.
“Saya benar-benar sendiri, mereka sekali datang langsung melakukan beberapa kegiatan. Tujuannya biar nggak bolak-balik lagi. Setelah dijelaskan saya memahami karena APD mereka terbatas,” tutupnya.
Advertisement