Kesadaran Masa Depan Muslim Sejajar Ketakwaan, Ini Pesan Haedar
"Dalam surat Al-Hasyr ayat 18 ada hal menarik. Kesadaran masa depan bagi seorang Muslim disejajarkan dengan ketakwaan. Ekuivalen," kata Haedar Nashir.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menyatakan, Indonesia harus benar-benar matang dalam menentukan sikapnya guna menghadapi tantangan ke depan.
"Menghadapi satu abad Indonesia bukan pada pertanyaan apakah Indonesia ada, tetapi bagaimana Indonesia tetap ada. Pertanyaan ini lebih menantang. Apalagi untuk berada di situasi 2045 yang merupakan pematangan era post modern. Bagaimana Indonesia hadir bukan sekedar eksis tapi sekaligus menjadi negara modern jika ingin melampaui bangsa lain dalam mewujudkan cita-cita nasional," ujarnya.
Haedar berpendapat, Indonesia sebagai sebuah negara harus berpikir ultra-visioner atau jangka sangat panjang demi tercapainya cita sebagai negara dan bangsa yang besar. Untuk memulainya, men-tadabburi sejarah menurut Haidar adalah langkah yang niscaya.
"Masa lalu adalah masa depan dan masa kini kita. Dalam surat Al-Hasyr ayat 18 ada hal menarik. Kesadaran masa depan bagi seorang Muslim disejajarkan dengan ketakwaan. Ekuivalen," ungkap Haedar.
"Warga bangsa yang punya prestasi harus dihargai dan memperoleh tempat dalam konstruksi negara. Yang terakhir bangun sistem, supaya agama tidak stagnan seperti genangan air, seolah oase tapi tidak memberikan apa-apa".
Ia mengungkapkan hal itu, saat menghadiri Bincang Kebangsaan dan Peluncuran Buku "Membaca Indonesia #menyatukan Kepingan" yang disusun Desk Hukum Harian Kompas, Senin, di Jakarta.
Dalam kaitannya dengan maksud tersebut, Haedar menyoroti berbagai masalah yang jika sekiranya dibiarkan berlarut-larut dikhawatirkan akan menjadi penghambat bagi cita Indonesia di masa depan.
"Ada problem krusial, yaitu stagnasi. Misalnya kerukunan, toleransi, dan kedamaian yang kita tidak tahu gunanya untuk apa? Sehingga ketika disengat oleh suatu pihak, kita panik luar biasa. Juga kasus terorisme. Ketika kita ajak berpikir secara jerniah, malah mandek di situ," sayang Haedar.
"Kita selalu berbicara mengenai hal yang tidak kita paham sehingga terjadi disorientasi dari perspektif keagamaan maupun politik. Para pemimpin suka menanggalkan nalar sehat demi kalkulasi," imbuh Haedar.
"Yang terakhir destruksi. Pasca amandemen terjadi dan tidak kita hadapi dengan baik seperti oligarki sekarang. Hitam putih negara hanya ada di elit partai. Ketika ada pembuatan keputusan, kita (civil society) dipinggirkan, tapi ketika darurat selalu diminta," kritiknya.
Menghadapi masalah tersebut, Haedar menawarkan rekonstruksi sebagai sebuah solusi.
"Pemerintah dan civil society harus dudik bersama mencari formula agar tidak dilumat oligarki. Harus ada keberanian kita sebagai bangsa. Asumsinya, jika 2045 negara semakin modern, harus ada keberenian untuk menjadi modern dan tidak komunal," sambung Haedar.
"Warga bangsa yang punya prestasi harus dihargai dan memperoleh tempat dalam konstruksi negara. Yang terakhir bangun sistem, supaya agama tidak stagnan seperti genangan air, seolah oase tapi tidak memberikan apa-apa," pungkasnya.
Dalam bincang kebangsaan tersebut, selain Ketua Umum PP Muhammadiyah yang hadir menjadi narasumber, turut hadir Ketua NU Marsudi Suhud, Ketua KPK Agus Rahardjo, Ketua DPR RI Bambang Soesetyo, Ketua MPR RI Zulkifli Hasan dan perwakilan staf Kepresidenan Republik Indonesia. (adi)
Advertisement