Keringanan Puasa, Qadha dan Fidyah! Penjelasan Ulama Pesantren
Jika mempelajari ayat Al-Qur'an tentang kewajiban puasa maka pelajari secara menyeluruh ayat-ayat sesudahnya. Inilah bentuk kemahailmuan Allah atas hambaNya. Setelah Allah perintahkan puasa, Allah maha tahu ada hambaNya yang tidak mampu sementara waktu dan tidak mampu seterusnya.
Atas kemaharahmanan Allah, kita diberi keringanan untuk tidak berpuasa. Berikut beberapa bagiannya:
1. Qadha' tanpa fidyah
Yaitu sakit dan bepergian jauh. Allah berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
"... Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (al-Baqarah: 185)
Tahun lalu saya sempat kelelahan. Saya ke dokter dan saya perkirakan mampu berpuasa seharian. Tapi dokter menyarankan agar minum obat dulu agar sembuh lebih cepat. Saya langsung membatalkan puasa dan minum obat. Alhamdulillah sembuh.
Bagi saya lebih baik batal untuk diobati agar segera sembuh dari pada memaksa berpuasa yang menyebabkan penyakit tambah parah atau sembuhnya makin lama. Toh Allah memberi keringanan dan ada waktu 11 bulan untuk qadha.
2. Fidyah tanpa qadha'
Berdasarkan ayat berikut:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ [البقرة/184]
"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin."
Seorang Sahabat Nabi yang digelari interpretator Al-Qur'an memberi penafsiran:
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: رُخِّصَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمُ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ
Ibnu Abbas: “Orang yang sangat tua boleh tidak puasa, namun membayar fidyah setiap hari untuk orang miskin, tanpa qadla” (Daruquthni dan al-Hakim)
Ulama Syafi'iyah menggolongkan:
1. Orang pikun
2. Orang sakit yang tidak ada harapan sembuh
Pada golongan orang yang sangat tua, sehingga wajib fidyah saja, tanpa qadha.
3. Qadha dan Fidyah
Yakni pada wanita yang sedang hamil atau sedang memberi ASI.
وَفِي الْحَدِيْثِ: " إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ، وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ " (رواه احمد)
Hadis: "Sesungguhnya Allah memberi keringanan bagi musafir dalam puasa dan salat Qashar, serta bagi wanita hamil dan menyusui (untuk tidak) puasa” (HR Ahmad)
وَعَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَامِلِ إِذَا خَافَتْ عَلَى وَلَدِهَا فَقَالَ: تُفْطِرُ، وَتُطْعِمُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ (رواه مالك والبيهقي)
Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya. Ia menjawab: “Wanita tersebut mengeluarkan makanan tiap hari untuk orang miskin sebanyak 1 mud” (Malik dan Baihaqi)
وَعِنْدَ أَحْمَدَ وَالشَّافِعِي: أَنَّهُمَا - إِنْ خَافَتَا عَلَى الْوَلَدِ فَقَطْ وَأَفْطَرَتَا - فَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ وَالْفِدْيَةُ، وَإِنْ خَافَتَا عَلَى أَنْفُسِهِمَا فَقَطْ أَوْ عَلَى أَنْفُسِهِمَا وَعَلَى وَلَدِهِمَا فَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ، لاَ غَيْرُ.
Madzhab Syafii dan Ahmad: “Jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada anaknya saja, maka wajib qadla’ dan fidyah. Jika khawatir pada dirinya saja, atau dirinya dan anaknya maka wajib qadla’ saja, tanpa fidyah”
Demikian pula qadha dan fidyah berlaku bagi orang yang menunda qadha tanpa uzur hingga tiba Ramadhan berikutnya:
( وَمَنْ أَخَّرَ قَضَاءَ رَمَضَانَ ) أَوْ شَيْئًا مِنْهُ ( مَعَ إمْكَانِهِ ) بِأَنْ لَمْ يَكُنْ بِهِ عُذْرٌ مِنْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ ( حَتَّى دَخَلَ رَمَضَانُ آخَرَ لَزِمَهُ مَعَ الْقَضَاءِ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ ) لِأَنَّ سِتَّةً مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ قَالُوا بِذَلِكَ
"Menunda qadla’ puasa ramadlan sampai tiba ramadlan kedua tanpa udzur seperti sakit, maka wajib qadla’ dan fidyah. Berdasar fatwa 7 Sahabat" (Mughni Al-Muhtaj)
"Kajian jelang Buka Puasa di PWNU. Saya sudah menyediakan slide karena di ruang ini tersedia VideoTron berukuran besar. Banyak materi terkonsep seketika menghilang lantaran dihadiri guru-guru saya, ada KH Ramadlon Chotib (Katib Syuriah PWNU), KH Asyhar dan Kiai Anas dari LBM PWNU."
KH Muhammad Ma'ruf Khozin, Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Suramadu - Bangkalan, Madura.
Advertisement