Keributan di Surabaya Menuju Aksi Benny Wenda
Mari kita tengok, Papua dan Papua Barat. Sisa-sisa politik "devide et impera" kolonial (politik pecah belah) di wilayah ujung Timur Papua muncul lagi ke permukaan. Benny Wenda, pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) proklamirkan kemerdekaan pada 1 Desember 2020 yang dirilis dari Inggris.
ULMWP bukan organisasi baru dan setiap 1 Desember selalu melakukan hal ini. Secara hukum internasional tidak sah karena secara resmi Papua dan Papua Barat telah sah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mendapat pengakuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setelah “penentuan nasib sendiri rakyat Papua pada 1969".
Namun proklamasi kali ini perlu diwaspadai karena didahului aksi keributan di asrama mahasiswa Papua di Surabaya beberapa waktu yang lalu. Mereka mengeksploitasi ucapan rasialis seorang oknum tentara sehingga gemanya luas. Kali ini proklamasi terjadi di tengah kesibukan atau konsentrasi pemerintah terhadap kasus Muhammad Rizieq Syihab (HRS) dan upaya atasi Covid-19, sehingga kehilangan fokus.
Kalau diteliti, kasus Surabaya bukan suatu hal yang berdiri sendiri, tetapi suatu bagian dari kegiatan terstruktur penanaman virus anti-NKRI melalui pendidikan di Papua. Proses itu berlangsung sejak sekitar sepuluh tahun terakhir.
Sekitar 2012 atas permintaan Pak Syafrie Samsoeddin (waktu itu Wamen Pertahanan* ), atas nama PBNU saya ditemani Muhyidin Aburusman (almarhum) mengadakan pertemuan dengan lintas agama di Jayapura bersama Sinode Gereja Katholik, Pastor LEO, Gereja Protestan Maluku (GPM) wakil pendeta ITAR dan Majelis Muslim Papua,Thoha Al Hamid. Ada satu organisasi gereja baru, pecahan dari GPM yang menolak terlibat pertemuan diduga karena sikap politik yang berbeda.
Suatu pekerjaan rumah bagi pemerintah. Perlu strategi baru yang perlu didialogkan dengan kekuatan NKRI di tanah Papua. Pembangunan fisik disana penting, tetapi menanamkan jiwa nasionalisme sama pentingnya. Perdamaian di Papua harus tetap dipelihara dan saya yakin dunia internasional tidak menghendaki kekacauan di daerah tersebut. Tidak akan terhindarkan konflik antaretnik yang sangat beragam di Papua.
Dampaknya bisa diduga, akan terjadi tragedi kemanusiaan yang sangat besar. Termasuk eksodus dari Papua ke negara-negara dan daerah sekitarnya. Baik kasus HRS dan Papua lebih baik mengedepankan pendekatan kemanusiaan dan kesejahteraan.
Dr KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosual-Politik, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU, periode 2010-2015). Tinggal di Jakarta.
*) Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sjafrie Sjamsoeddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 30 Oktober 1952) adalah Wakil Menteri Pertahanan Indonesia dari 6 Januari 2010 hingga 20 Oktober 2014. - Redaksi
Advertisement