Kereta Gantung di Bromo ‘Menggantung’ Disoroti DPRD Jatim
Proyek kereta gantung yang digagas Pemprov Jatim hingga kini nasibnya masih “menggantung”. Meski sudah masuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomo 80/2019, tetapi belum diketahui pemerintah pusat.
Rencana ini bahkan mendapat penolakan dari sejumlah pelaku jasa pariwisata di kawasan Gunung Bromo. Mereka menginginkan Bromo yang tampil natural lebih bisa mewadahi pelaku wisata seperti, kuda tunggangan, jip hingga ojek motor.
“Kami juga menilai, proyek kereta gantung di Bromo menggantung alias tidak jelas. Sisi lain dinilai meresahkan para pelaku usaha wisata di Bromo,” ujar Wakil Ketua Komisi B DPRD Jatim, Mahdi, Selasa 18 Februari 2020 sore.
Politisi PPP itu menegaskan, hingga kini belum jelas wujudnya terkait Perpres tersebut. Kalau pun menjadi 10 program wisata nasional, sebaiknya tidak ada kereta gantung di Bromo.
“Anehnya, malah pemerintah pusati tidak tahu kalau ada rencana proyek kereta gantung,” katanya.
Kalau proyek kereta gantung dibentangkan di atas Laut Pasir (Kaldera) Bromo, Mahdi meyakini akan merugikan pelaku wisawa jasa kuda tunggangan, ojek motor hingga jip.
“Sudah lama mereka teriak-teriak agar kereta gantung tidak diwujudkan,” ujarnya.
Saat mengunjungi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) melalui pintu gerbang Probolinggo, politisi asal Dapil Probolinggo-Pasuruan itu menyatakan, menolak proyek kereta gantung.
“Dengan berbagai pertimbangan dari para pelaku jasa wisata di Bromo, kami Komisi B sepakat menolak kereta gantung di Bromo,” tegasnya.
Mahdi mengingatkan, warga Tengger yang mendiami kawasan TNBTS memiliki budaya yang kental. Jangan sampai proyek kereta gantung mengganggu adat istiadat warga Tengger.
Seperti diketahui, Pemprov Jatim berencana membangun kereta gantung di dua titik, yakni Batu, Malang dan Gunung Bromo. Bahkan, rencana pembangunan kereta gantung itu sudah masuk Perpres 8/2019. Salah satu isinya, estimasi anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan kereta gantung itu sekitar Rp350 miliar.
Rencana pembangunan kereta gantung di kawasan Bromo juga ditolak Penyedia Jasa Layanan Akomodasi dan Tranportasi Wisata (Patra). Patra sudah melayangkan surat terbuka kepada Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, yang isinya menolak proyek kereta gantung.
“Yang jelas, pembangunan kereta gantung pasti akan mengganggu kawasan konservasi dan ekosistem di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru,” kata Ketua Patra Sukapura, Moch. Solehan.
Alasan lain, penolakan Patra terkait geliat pelaku jasa wisata di kawasan Bromo. “Kalau kereta gantung diwujudkan, ribuan warga yang akan kehilangan pekerjaan,” katanya.
Terkait anggaran ratusan miliar untuk kereta gantung, menurut Patra, lebih baik untuk penataan dan pengelolaan kawasan wisata.
“Banyak yang harus dilengkapi di Bromo seperti fasilitas air bersih, penambahan toilet umum, hingga tempat ibadah,” ujarnya mencontohkan.
Solehan menilai, proyek kereta gantung terkesan dipaksakan. Apalagi selama ini tidak pernah ada uji publik yang melibatkan masyarakat setempat.
“Uji publik tidak ada, diskusi soal pembangunan ini juga tidak pernah dilakukan, dari tingkat terkecil seperti kecamatan, daerah hingga ke atasnya, nggak ada sama sekali,” tambahnya.
Senada dengan Patra, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Cabang Kabupaten Probolinggo meminta, Bromo tampil dengan wajah naturalnya. Lebih baik alami daripada dijejali teknologi untuk memikat wisatawan.
“Bukannya kami menolak wacana kehadiran kereta gantung di Bromo. Yang harus diperhatikan, wisata Bromo itu identik dengan alam, petualangan, ekologi, konservasi, dan surganya pecinta alam,” kata Ketua PHRI Kabupaten Probolinggo, Digdoyo P. Djamaludin.
Kehadiran kereta gantung, lanjut pemilik Hotel Yoschi’s, justru berdampak negatif dan berpotensi mengurangi fungsi pokok TNBTS yakni, mengacu pada UU 5/1990 tentang Konservasi.
Disinggung soal sarana dan prasarana apa yang perlu dibenahi di Bromo ketimbang proyek kereta gantung, Yoyok mencontohkan, jasa kuda. “Jasa kuda sudah ada di Bromo sejak zaman Belanda, sejak 1912 silam,” katanya.