Kereta Cepat Jkt-Bandung Gunakan APBN, Ingat Janji Presiden Bush
"Read my lips, no new taxes." Baca bibirku, tidak akan ada kenaikan pajak. Itu kata Capres Bush senior menjelang Pemilu 1988 di AS. Dan itu pulalah yang membuat dia terpilih sebagai Presiden AS.
Tapi ketika defisit anggaran negara semakin besar di tahun 1990, akhirnya Presiden Bush meralat janjinya dan menaikkan pajak. Dampaknya, pada Pemilu 1992 Presiden Bush kalah karena lawannya Capres Clinton terus mengangkat janji Presiden Bush tentang pajak yang dilanggarnya.
Saya teringat kisah Presiden Bush dengan janjinya ketika mengikuti perkembangan Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Karena sebelumnya Presiden Jokowi juga berjanji bahwa pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung tidak akan menggunakan dana APBN. Sepenuhnya business to business.
Sekarang, ketika biaya pembangunan semakin membengkak, dari sebelumnya 6 milyar dollar menjadi 8 milyar dollar, konsorsium angkat tangan, akhirnya Presiden Jokowi mengubah Perpresnya dan membuka pintu bagi pembiayaan APBN. Pembiayaan dari APBN artinya pembiayaan dari uang rakyat. Bukan lagi sekedar business to business.
Yang jadi persoalan, karena perencanaan yang buruk, pembengkakan biaya ini pastilah akan mempengaruhi harga tiket. Harga tiketnya pasti naik. Dan kalau harga tiket terlalu mahal, keretanya pasti kosong. Lalu konsorsium merugi.
Prediksi saya, agar konsorsium tidak merugi maka nanti akan ada permintaan agar negara memberikan subsidi harga tiket. Alasannya membantu rakyat agar tiketnya terjangkau. Padahal semuanya akal-akalan untuk kepentingan konsorsium semata.
Di AS, Presiden Bush akhirnya dihukum secara elektoral oleh rakyat AS karena melanggar janjinya. Di Indonesia, mungkin sudah terlambat karena Presiden Jokowi tidak bisa lagi mencalonkan diri sebagai Presiden, sesuai konstitusi.
Tapi rakyat pemilih kita juga perlu memberi hukuman secara elektoral bagi pemimpin yang melanggar janjinya. Paling tidak kepada partai yang mendukungnya. Agar, rakyat pemilih bisa menegaskan kedaulatannya. (*)