Kereta Api, Mobilitas, dan Pariwisata Kita
Presiden Joko Widodo meresmikan Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek pada Kamis, 12 Desember 2019. Selain ada Pak Basuki, Menteri PUPR itu, Pak Jokowi juga didampingi Mas Wishnutama, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Tentu ada alasan, kenapa dia ikut serta.
Mantan petinggi Net TV itu bukan diminta menjadikan tol layang—yang fotonya tampak bergelombang itu, jadi ikon pariwisata baru. Atau mengawasi kenapa di beberapa titik, kok aspalnya sudah mengelupas. Atau kenapa beberapa mobil bisa pecah ban.
Tentu saja, Mas Wishnutama diminta mengenjot pariwisata. Harapannya, jalan tol layang ini bisa digunakan untuk memasksimalkan potensi wisata Jawa. Setidaknya, warga Jabotabek akan lebih gampang bepergian.
Tak berselang lama, Pak Jokowi giliran terbang ke Balikpapan. Pada Rabu, 18 Desember 2019, belio memencet tombol peresmian tiga seksi tol Balikpapan-Samarinda. Lumayan jaraknya, 58, 7 km. Harapannya, bisa mendorong mobilitas penduduk dan akses ke ibu kota negara yang baru.
Tentu saja, percepatan pembangunan jalan tol ini harus diapresiasi. Bisa memberikan alternatif perjalanan warga. Namun, hal ini masih ada sayangnya.
Pak Jokowi tak terlihat menaruh perhatian serius atas pembangunan jaringan jalur kereta api. Entah mengapa. Memang, politik jaringan tol dengan jaringan kereta api tentu beda hasil.
Bertambahnya jalur tol memang akan diikuti dengan naiknya trend konsumsi. Apa lagi kalau bukan pembelian mobil. Betul, konsumsi ikut mengerek kenaikan pertumbuhan ekonomi.
Tapi, ada sisi negatif yang hadir. Impor minyak mentah dan impor BBM kita juga akan naik. Alhasil, kondisi ini bisa memperlebar defisit perdagangan kita.
Biasanya, setelah BPS merilis itu, Pak Jokowi akan kembali geram. Marah, karena gap impor migas naik lagi.
Turunannya, para pejabat dibawahnya ikut kena getah. Kena semprot. Harus menaikkan produksi migas juga menekan impor.
Lho, tapi mau bagaimana lagi. Produksi migas adalah kerja panjang. Butuh lima sampai sepuluh tahun untuk berproduksi, setelah plan of development disetujui.
Mirip juga dengan pembangunan jalur kereta api. Butuh waktu lama. Bisa jadi, ini mengapa Pak Jokowi lebih memilih membangun bandara dan jalan tol.
Bisa dikejar dalam masa pemerintahannya. Terkesan, ada warisan infrastruktur yang kuat. Walau imbasnya, banyak sektor lain yang terkena.
Kembali ke urusan mobilitas. Sudah tugas pemerintah, memberikan banyak alternatif alat transportasi. Bila melihat kapasitas angkut dan volume energi yang digunakan, kereta api jelas di atas bus dan mobil.
Kereta api dalam sekali gerak, bisa mengangkut 1500 orang, dengan konsumsi BBMnya tiga liter per kilo. Untuk bus, hanya 40 orang, konsumsinya 0.5 liter per kilo. Sedangkan mobil hanya 5 orang, konsumsinya 0.1 liter per kilo.
Merujuk Rencana Induk Perkeretaapian Nasional 2018, diprediksi pada 2030, perjalanan penumpang dan barang di Indonesia angkanya melangit. Untuk penumpang, mencapai 929.500.000 orang per tahun. Sedangkan untuk barang, 995.500.000 ton pertahun.
Sayangnya, dalam rentang 78 tahun (1939-2017) jalur kereta api kita dibekap masalah. Ada kecenderungan penurunan prasarana jalan kereta api yang dioperasikan. Pada 2017, panjang jalan kereta api yang beroperasi sepanjang 5.434 Km. Rinciannya, di Jawa sepanjang 3.890 Km. Lalu, jalur di Sumatera sepanjang 1.544 Km.
Coba kita lihat data di tahun 1939. Saat itu, total jalur kereta api di Hindia Belanda sepanjang 8.157 Km. Di Jawa, tercatat sepanjang 6.324 Km. Untuk Pulau Sumatera sepanjang 1.833 Km.
Tentu saja, panjang jalur berimbas pula dengan jumlah stasiun. Pada tahun 1955/1956 ada 1.516 stasiun. Namun di 2017, jumlahnya merosot drastis tinggal 563 stasiun.
Melihat kondisi ini, seharusnya Pak Jokowi harus lebih keras ke Pak Menteri Budi Karya Sumadi (BKS). Agar dia cepat bergerak. Perlu percepatan luar biasa. Setidaknya Menteri BKS diberi target agar kondisinya bisa kembali seperti di tahun 1939.
Mengejar merealisasikan janji kereta api cepat Jakarta-Bandung. Lantas, memastikan janji kereta api cepat Jakarta-Surabaya juga terwujud. Sejatinya, kalau Pak BKS berhasil untuk dua target ini, Pak Jokowi akan memberikan warisan yang lumayan.
Konektifitas antar kota dengan kereta api cepat adalah keharusan. Karena ini akan membantu kerja pariwisata kita. Akan menguntungkan bagi wisatawan lokal atau manca.
Karena akan membuat biaya transportasinya makin murah. Transportasi adalah komponen tertinggi dalam pariwisata. Jika murah, orang akan suka cita memperjang waktu pikniknya.
Selain itu, kereta api menghasilkan benefit lain. Hemat waktu bagi wisatawan. Juga meminimalisir kerepotan-kerepotan tak perlu.
Awal bulan Desember lalu, saya dan keluarga melawat ke Jepang. Di sana, kami menikmati jalur kereta api sebagai tulang punggung gerak. Di dalam kota-kota besar, jalur subway (kereta bawah tanah), sudah seperti mie dalam mangkok.
Tumpang tindih, terlihat semerawut, namun berjalan dengan teratur. Konektifitas antar titik terjadi dengan sempurna. Sisanya? Orang harus berjalan kaki menuju antar stasiun subway.
Keramaian terjadi di bawah tanah. Hal biasa, saat orang-orang berlarian mengejar kereta. Jumlah perjalanan di jam sibuknya, luar biasa. Tiap tiga menit kereta datang.
Ada keuntungan lain, saat memaksa orang naik angkutan umum. Tentu saja kesehatan. Kebiasaan jalan kaki membantu vitalitas warga Jepang.
Tak terlihat orang-orang dengan kelebihan berat badan. Bahkan, mereka yang terhitung usia lanjut pun. Mereka tampak girang saat mengejar kereta.
Budaya disiplin, berkembang dengan hadirnya kereta api. Semua berjalan sesuai waktu yang ditentukan. Sebelum kereta datang, orang sudah tertib antre. Tak ada yang menyelak.
Hal yang utama juga, stasiun subway atau kereta selalu dibangun di dekat pusat keramaian atau wisata. Hal ini tak cuma di Tokyo. Di kota-kota lainnya, polanya juga sama.
Kemudahan ini, membuat turis pun menikmati Jepang dengan luar biasa. Bahagia, gampang, dan murah. Konektifitas subway dan kereta luar kotanya luar biasa.
Sebagai wisatawan, target saya cuma satu. Memilih penginapan di dekat stasiun subway. Walau itu jauh dari pusat kota. Tak apa, karena dengan subway kita bisa gampang ke mana-mana.
Tak ada di pikiran saya untuk iseng menyewa mobil. Atau memilih naik taksi. Semua tujuan wisata, tak jauh dari stasiun kereta api.
Tapi, bagaimana membuat warga dan turis paham jaringan kereta apinya? Di Jepang, sudah tersedia beberapa aplikasi transportasi umum itu. Jadi cukup download saja.
Saat sudah terinstal, dialah asisten kita. Cukup tinggal memasukkan posisi kita dan lokasi tujuan. Abrakadabra. Tak berapa lama, sudah keluar empat alternatif perjalanan mencapai lokasi tersebut.
Dari titik stasiun terdekat, di mana harus berpindah kereta, berapa jarak jalan kakinya, termasuk jamnya. Juga harga tiketnya. Semuanya presisi. Bahkan dalam hitungan detiknya.
Konektifitas antar kota di Jepang, juga ditunjang kereta api. PT KAInya Jepang, punya shinkansen. Kereta api yang super cepat itu. Mereka meresmikannya pada tahun 1965.
Bayangkan, saat itu negara kita masih disibukkan dalam kondisi pertengkaran politik yang kacau balau. Jepang, sudah meresmikan kereta api super cepatnya itu. Tulang punggung pergerakan orang antar kota.
Awalnya, saya menaiki shinkansen dari Tokyo ke Enchiko Yuzawa. Stasiun terdekat ke beberapa resort salju di Tokyo. Dari stasiun, petugas pariwisata memberi tahu, saya harus berpindah ke bus kota.
Terminal busnya ada di samping stasiun. Bus kotanya datang dan pergi tepat sesuai jadwal. Tak ada cerita ketinggalan bus.
Bagi wisatawan, ini penting. Waktu keberangkatan dan lama perjalanan. Karena itu dibutuhkan untuk mengatur rencana kita.
Saat di Jepang, dengan kehandalan kereta apinya, tak terpikirkan bagi saya memilih pesawat terbang untuk berpindah kota. Itu mengapa, saya memilih kembali naik shinkansen dari Tokyo ke Osaka.
Jarak keduanya, 506.2 kilometer. Kalau naik shinkansen, hanya ditempuh dalam waktu tiga jam saja. Bandingkan dengan jarak Jakarta ke Semarang, 441,9 kilometer. Kita akan butuh waktu 6 jam dengan kereta api dari Stasiun Gambir.
Satu lagi yang menakjubkan dari shinkansen ini. Pelayanan kereta api ini sempurna. Jalannya lembut, bahkan tidak terasa kalau kita sedang ngebut.
Kebetulan saya sudah menikmati banyak kereta api di berbagai belahan dunia. Dari maglev di China. Lantas Amtrax di Amerika. Atau kereta api antar negara di Eropa.
Bagi saya, Jepang memang luar biasa untuk urusan kereta api ini. Contoh sederhana, di dalam shinkansen, toilet pun mendapatkan perilakuan top. Bersih, hangat, dan sesuai standar hotel bintang lima.
Ada juga toilet khusus kaum difable. Bagi yang suka merokok, ada juga tempat merokok yang bagus. Bisa diisi tiga orang, dan bersih sekali.
Wifi gratis. Lima gerbong pertama disediakan bagi mereka yang tidak pesan tempat duduk. Jadi sepanjang Anda sudah memiliki kartu terusan selama seminggu, Anda bisa naik kereta api yang dikelola Japan Railways kapan saja dan kemana saja. Intinya, penumpang dimanjakan.
Bagi saya, ledakan pariwisata di Indonesia akan terjadi, bila infrastruktur jalur kereta api jadi tulang punggungnya. Direvitalisasi dengan serius. Tak hanya sebatas dalam kajian dan slogan semata.
Ajar Edi, kolomnis Ujar Ajar di ngopibareng.id
Advertisement