Kerasan Nyoblos
PADA jaman Orde Baru dulu, rasa-rasanya TPS-TPS lebih ramai dari saat ini. Entah apakah karena dulu tingkat partisipasi rakyat lebih tinggi ataukah karena kini lebih banyak TPS yang tersedia. Tadi itu saya datang sekitar jam setengah dua belas, TPSnya sepi. Saya dan isteri saya bisa langsung melenggang mengambil surat suara, mencoblos, memasukkan ke kotak, selesai. Tak terlihat seorang pun pemilih lain membuntuti kami. Sepi.
Dulu, TPS-TPS jauh lebih ramai. Antreannya panjang. Dan yang sudah mencoblos pun banyak yang tak buru-buru pulang. Nongkrong di sekitar TPS seperti menunggui tontonan.
Perbedaan lain adalah bahwa dulu itu bilik suaranya lebih “misterius”: sungguh-sungguh bilik secara harfiah dalam ukuran kecil dengan penutup kain seperti fitting room di toko-toko busana. Orang tak akan tahu sama sekali apa yang dilakukan pemilih didalam bilik itu.
Mbah Kaji Imam, imam langgar yang baru pulang haji, datang ke TPS dengan membawa kantung plastik warna gelap. Entah apa isinya. Setelah mengantre cukup lama, gilirannya mencoblos pun tiba. Ia melangkah ke dalam bilik suara dengan langkah pasti, walaupun tertatih-tatih karena usia.
Sebenarnya orang-orang bisa memaklumi kalau Mbah Kaji memerlukan waktu agak lebih lama didalam bilik itu. Namanya juga orang tua. Tapi keheranan, bahkan kegelisahan, mulai meruap ketika waktu yang dihabiskan Mbah Kaji didalam bilik itu makin terasa tak wajar. Terlalu lama bahkan untuk ukuran orang rabun.
“Mbah! Sudah belum, Mbah?” anggota PPS meneriaki.
“Ko sik!” (Entar dulu!)
Terpaksa terus ditunggu. Para pengantre mulai tak sabar dan bergeremengan satu sama lain. Mbah Kaji tak kunjung keluar juga.
“Mbah! Kalau sudah lekas keluar dong!”
“Ko sik!” jawabannya sama.
Tapi kali ini anggota PPS tak sabar lagi. Walaupun menurut kode etik tak boleh, ia menganggap situasinya darurat sehingga nekad menyingkap kelambu bilik suara!
Di dalamnya tampak Mbah Kaji sedang menjejer sejumlah kopyah putih dari dalam kantung plastiknya dan mencobainya satu per satu. Rupa-rupanya tadi itu ia belanja kopyah dengan tergesa-gesa lalu langsung menuju TPS. Ia kuwatir kopyah-kopyah itu ada yang tidak pas di kepalanya. (Terong Gosong KH Yahya Cholil Staquf)