Keramat Para Wali dalam Fragmen yang Mendebarkan
AIkisah, Harun ar-Rasyid meminta Muhammad al-Batthal menari peristiwa yang paling mengagumkan yang terjadi di negeri Romawi.
Kemudian, Muhammad al-Batthal bercerita kepada Harun arRasyid sebagai berikut:
Suatu hari, aku berjalan di padang rumput dengan topi di kepalaku. Dari arah belakang, aku mendengar gesekan kuku hewan yang berjalan. Merasa penasaran, aku pun berpaling. Aku melihat seorang penunggang kuda yang membawa sebilah pedang sambil membawa tongkat. Ia mendekatiku dan mengucapkan salam. Aku menjawab salamnya.
“Apakah engkau melihat seorang laki-laki bernama Batthal?” tanyanya padaku.
“Ya, akulah Batthal, ujarku.
Kemudian, penunggang kuda itu turun dari tunggannya, memelukku, dan mencium kakiku. Merasa tidak tahu penyebabnya, aku bertanya, “Mengapa engkau melakukan ini?”
“Aku ingin mengabdi kepadamu,” tukasnya.
Meskipun aku tidak mengetahui persis alasannya, aku mengiyakan. Saat itu, tiba-tiba, empat penunggang kuda datang menghampiri kami. Lalu, temanku berkata kepadaku, “Apakah engkau memberiku izin untuk mengeluarkan mereka?”
“Ya,” jawabku. Seketika, mereka mengusir dan membunuh temanku itu.
Membawa Mayat
Kemudian, mereka membawa mayatnya kepadaku. Aku berkata kepadanya, “Apabila kalian hendak memerangiku, maka tunggu sebentar. Sampai, aku menyarungkan pedang temanku padaku dan menaiki kudanya.”
“Engkau mendapatkan hak itu!” ujar mereka.
Aku memakai pedang dan menaiki kudanya. “Kalian empat orang, sedangkan aku hanya seorang saja. Ini tidak imbang. Kalau berani, keluarkan salah satu dari kalian untuk melawanku.”
Lalu, salah seorang dari mereka maju, dan aku berhasil membunuhnya. Kemudian, orang kedua dan ketiga, aku berhasil membunuhnya. Orang keempat juga maju untuk melawanku. Perkelahian pun begitu sengit terjadi, dengan menggunakan tombak, sampai tombakku dan tombaknya hancur.
Kami turun dari kuda dan melanjutkan perkelahian dengan menggunakan perisai. Sampai, perisaiku dan perisainya rusak, dan jambul pedangku serta pedangnya pecah dan jatuh di atas tanah. Perkelahian tetap berlangsung hingga sore.
Aku sudah tidak kuasa lagi untuk melanjutkan pertempuran, sama seperti dia. Aku berkata kepadanya, “Aku kehilangan ibadah pada hari ini, menurut agamaku.”
“Aku juga begitu!” ujarnya.
Aku tahu bahwa ia seorang uskup. Aku berkata kepadanya, “Apakah engkau akan pergi untuk menunaikan kewajibankewajiban yang kita tinggalkan, lalu istirahat hingga besok subuh, dan kita bisa meneruskan perkelahian ini?”
“Baik! Aku menerima itu,” ujarnya.
Maka, aku mengesakan Allah Swt. dan menunaikan shalat, sebagaimana ia juga melakukannya. Saat berbaring hendak tidur, ia berkata kepadaku, “Kalian, wahai orang Arab! Pada kalian terdapat pengkhianatan, dan di kedua telingaku terdapat dua suara keras. Salah satunya aku gantungkan pada telingamu, dan engkau meletakkan kepalamu padaku. Apabila engkau bergerak, suara itu akan berdering.”
Maka, aku bangun, dan berkata kepadanya, “Lakukan itu!”
Malam Menuju Pagi
Pada malam itu, kami bermalam dalam kondisi demikian. Ketika pagi menyapa, aku mengesakan Allah Swt....Tiba-tiba saja, kami tergerak untuk berkelahi kembali. Aku menduduki dadanya dan hendak membunuhnya.
“Ampuni aku untuk kesempatan ini!”
“Baiklah!” kataku.
Setelah itu, perkelahian terjadi kembali. Kakiku tergelincir hingga aku pun terjatuh. Ia menduduki dadaku, dan hendak menyembelihku. Dengan cepat aku bereaksi.
"Akutelahmengampunimu! Tidakkahengkaumengampuniku?”
“Baiklah!” ujarnya.
Kemudian, kami berkelahi kembali untuk yang ketiga kalinya. la memukul dadaku. Ia menguasai dan menduduki dadaku. Aku berkata kepadanya, “Satu dibalas dengan satu. Kali ini, engkau melebihiku!”
“Baiklah!” katanya.
Kemudian, kami berkelahi kembali untuk yang keempat kalinya. Ia menguasaiku. Ia berkata kepadaku, “Sekarang, aku tahu bahwa engkau adalah Batthal. Aku akan membunuhmu. Dan, aku akan memperoleh tanah Romawi darimu.”
“Tidak! Apabila Tuhanku berkehendak,” ucapku.
“Mintalah kepada Tuhanmu agar tercegah dari pembunuhan ini,” katanya.
la mengangkat pisau besar hendak menyembelihku. Mendadak, temanku yang telah terbunuh berdiri. Ia mengangkat pisau dan menebas kepala uskup itu. Kemudian, temanku itu membaca ayat:
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اَمْوَاتًا ۗ بَلْ اَحْيَاۤءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَۙ
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati: bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (OS. Ali "Imran (31: 169).
Berakhirlah kisah dari Kitab An-Nawadir.
Semoga kita dapat mengambil hikmahnya Amin.