Kerakusan Pemimpin Kehancuran Bangsa
oleh: KH Husein Muhammad
Pengasuh Pondok Pesantren Dar-el Tauhid, Arjwinangun Cirebon, Penulis masalah-masalah Keislaman dan Keadilan Gender.
RAJA Penyair Arab modern terbesar, Ahmad Shawqi, bersenandung indah :
إنما الأمم الأخلاق ما بقيت ،فإن هم ذهبت اخلاقهم ذهبوا”
"Bangsa-bangsa/negara bisa eksis selama moralitas kemanusiaan masih berdiri tegak. Manakala ia telah hilang, maka mereka akan runtuh, hancur-lebur ".
Aku sudah lama menulis judul ini, "Kerakusan Pemimpin Sumber Kehancuran Bangsa". Tetapi aku ingin menulisnya lagi.
Al-Quran begitu banyak mengungkapkan sejarah manusia sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Sebagian kisah para nabi itu dikemukakan berulang-ulang. Dan satu hal yang menarik, dalam banyak ayat, sering kali Tuhan mengakhirinya dengan kalimat:
"Apakah kamu tidak berpikir",
" Apakah kamu tidak merenungkannya",
"Apakah kamu tidak memperhatikan"
"Apakah kamu tidak mengambil pelajaran"
dari peristiwa-peristiwa itu?"
Tampak jelas bahwa betapa Tuhan ingin mengajarkan kepada manusia tentang pentingnya berpikir, memikirkan dan merenungkan sejarah kehidupan manusia, lalu mengambilnya sebagai pelajaran yang berharga untuk menjadi bahan melangkah ke masa depan yang panjang.
Sejarah Aktualisasi Diri Manusia
Sejarah dengan begitu menjadi salah satu basis dan sumber pengetahuan manusia yang sangat penting. Sejarah adalah panggung paling representatif untuk memperlihatkan bagaimana manusia mengaktualisasikan dan mengekspresikan dirinya. Dan sejarah manusia selalu menampilkan wajah-wajah manusia yang paradoks: baik dan buruk, baik dan jahat. Ada yang saleh, ada yang jahat dan adalah yang ambivalen, ambigu dan munafik. Kadang ada yang mengatasnamkan dan menimpakan perbuatan dirinya karena Tuhan. "Yang menentukan jabatan itu Allah".
Satu dari sekian sejarah manusia yang ditampilkan Al-Qur'an adalah kehancuran bangsa-bangsa, karena membiarkan para penguasa hidup mewah, mengkorupsi uang rakyat dan menindas rakyat atas nama kekuasaan.
Al-Qur'an menyatakan:
واذا أردنا أن نهلك قرية امرنا مترفيها ففسقوا فيها فحق عليها القول فدمرنها تدميرا (١٦)
"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan (melanggar hukum) di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlaku terhadapnya keputusan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan (hancurkan) (negeri itu)." (QS. al-Israa' [17]: 16)
Pernyataan al-Qur'an tersebut seharusnya menjadi pelajaran bagi kita hari ini bahwa kita memang harus mengangkat pemimpin yang jujur dan adil agar selamat dari kehancuran dan tidak boleh memilih pemimpin yang zhalim.
Ibnu Rusyd mengatakan,
ان الحاكم الظالم هو الذى يحكم الشعب من اجل نفسه لا من اجل الشعب "
"Anna al-hakim azh-zhalim huwa alladzi yahkum ays-sya'ab min ajli nafsihi la min ajli asy-sya'ab."
"Pemimpin yang zhalim adalah orang yang memimpin bangsanya dalam rangka mencari keuntungan dan kesenangan bagi dirinya sendiri dan bukan demi kepentingan bangsanya".
Imam al Ghazali dalam karyanya "Al Tibr al Masbuk fi Nashihah al Muluk" mengatakan :
ان طباع الرعية نتيجة طباع الملوك. لان العامة انما ينتحلون ويركبون الفساد اقتداء بالكبراء "
Perilaku rakyat adalah cermin dari perilaku pemimpinnya. Mereka meniru pemimpinnya. Jika mereka bertindak buruk, itu akibat meniru pempimpinnya yang buruk".
ان صلاح الناس فى احسن سيرة الملك
Sebaliknya, rakyat menjadi baik jika akhlak para pemimpinnya berakhlak baik.
Akhirnya, tulisan indah Ruzbihan Baqli Syirazi, sufi master dan penyair terkemuka Persia, berpesan: "Mulailah menjauhkan dirimua dari kumpulan burung pipit yang tak paham agar kau dapat terbang ke arah burung bulbul, dan jiwamu tidak terbang dengan sayap yang patah.
Cirebon, 08 11.23 -HM