Keputusan Hukum Tak Adil, Sumber Kehancuran Negara
Di panggung perpolitikan Indonesia, kerap menyangkut masalah-masalah korusi. Fakta ini menegaskan betapa para petinggi negeri ini lebih mengutamakan sikap keserakahanya ketimbang memperhatikan tugas-tugas yang diorientasikan kepada kepentingan banyak orang alias rakyat.
Perlu diingat betapa keputusan hukum yang tak adil merupakan sumber kehancuran negara. Faktanya, di negeri ini, seorang koruptor yang menelan triliyunan rupiah uang kekayaan negara hanya divonis hukum begitu ringatan.
Padaha, Indonesia adalah negeri yang katanya menjunjung tinggi keadilan, ternyata ada satu drama komedi yang tak pernah lekang dari panggung, korupsi. Misalya, kasus korupsi degan aktor utama Harvey Moeis yang berperan dalam "film" korupsi pengelolaan tata niaga timah. Negara dirugikan Rp 300 triliun, tapi Harvey cuma dapat "tiket penjara" selama 6, 5 tahun.
Itulah kisah keserakahan seorang manusia dalam praktik korupsi, yang begitu absurd hingga membuat logika banyak orang yang waras di negeri ini terkekeh miris.
Jangankan orang awam yang ketawa. Petinggi negeri ini pun prihatin. Presiden Prabowo Subianto menyinggung kasus yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah. Prabowo lalu mempertanyakan vonis terdakwa yang dinilai ringan.
Keprihatinan Prabowo diungkap dalam pengarahannya di acara Musrenbangnas RPJMN 2025-2029 di Bappenas, Jakarta Pusat. Prabowo tiba-tiba menyinggung hakim yang memvonis ringan terdakwa yang merugikan negara ratusan triliun rupiah.
"Kalau sudah jelas, jelas melanggar, jelas mengakibatkan kerugian triliun ya semua unsurlah, terutama juga hakim-hakim ya vonisnya jangan terlalu ringanlah, nanti dibilang Prabowo nggak ngerti hukum lagi," kata Prabowo, Senin (30 Desember 2024).
Begitulah drama lucu di negeri ini. Padahal, faktanya Harvey Moeis adalah tersangka ke-16 dalan kasus komoditas timah wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 merugikan negara sampai Rp 271 triliun.
Menciderai Rasa Keadilan
Yang Tidak Adil: "Tajam ke bawah. Tumpul ke atas", dan "Kerakusan Pemimpin". Dalam salah satu karya yang merupakan hasil refleksi seorang ulama pesantren terhadap segala hal yang ia amati secara cermat dari berbagai realitas kehidupan masyarakat yang ada sekarang ini.
Dalam buku karya ini, Kiai Husein Muhammad menyampaikan poin-poin penting dari spiritualitas nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan yang selama ini sering “dimarjinalkan”.
Spiritualitas yang dimaksud adalah: ritual, akal, sosial, politik, dan perempuan. Masing-masing tema diulas secara cermat dan mendalam dengan senantiasa mendasarkan argumentasi pemikirannya pada khazanah tradisi klasik Islam sebagaimana sudah menjadi ciri khas/frame pemikirannya.
Jargon utama Kiai Husein dalam setiap pemikirannya ialah: kaifa nataqaddam duna an natakhalla’ ‘an at-turats (bagaimana kita maju dengan tanpa meninggalkan tradisi).
Terkait dengan itu, melalui pemikiran khas ulama pesantren, Kiai Husein mengajak para pembaca untuk menyelami berbagai persoalan yang berhubungan dengan keagamaan dan kemanusiaan, serta mencari jalan keluarnya dengan berpegang pada referensi tradisi klasik Islam. Dan Islam selalu menekankan pentingnya rasa keadilan itu.
Advertisement