Keprihatinan Nasional
Dewasa ini pemerintah Indonesia sedang menghadapi tekanan dari dalam dan luar negeri. Kalau pemerintah salah merespons, dikhawatirkan Indonesia akan terjerumus kedalam suatu “krisis nasional" yang membahayakan.
Bermula dari munculnya rencana gerakan mahasiswa dari 800 lebih kampus guna menyikapi isu politik nepotisme dan dinasti serta kecenderungan keberpihakan pemerintah terhadap salah satu calon presiden (Capres), kemudian berkembang menjadi gerakan perlawanan moral “sejumlah Universitas”.
Civitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) yang merupakan almamater Presiden Joko Widodo justru yang memulai menyatakan sikap atas kebijakan pemerintah dan lebih khusus adanya sinyalemen pelanggaran konstitusi dan keberpihakan kepada salah satu Calon Presiden. Dalam waktu singkat berkembang ke berbagai universitas seperti UII Yogyakarta, Unhas Makassar, UI Jakarta dan disusul oleh berbagai Universitas di Jawa dan luar Jawa. Bahkan, dalam petisi guru besar UI tersebut menyerukan agar seluruh perguruan tinggi dan bangsa Indonesia merapatkan barisan.
Fenomena gerakan moral kampus tersebut mirip dengan gerakan serupa menjelang lengsernya Presiden Soeharto dari singgasana.
Pernyataan civitas akademika yang kemungkinan besar akan menjadi dorongan moral terhadap gerakan mahasiswa. Gerakan civitas akademika dan 800 ratusan kampus se- Indonesia merupakan “suatu gerakan moral" yang perlu disikapi secara hati-hati dan bijaksana agar sejarah kerusuhan Mei 1998 tidak terulang.
Gerakan moral kampus umumnya cepat menarik perhatian Internasional. Jika tidak hati-hati, Indonesia bisa kehilangan kredibilitas internasional. Apalagi IMF pada 25 Juni 2023 telah memperingatkan menyangkut kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia.
Perhatian dunia internasional tertuju kepada penyelenggaraan Pileg dan Pilpres pada 14 Februari 2024, karena Indonesia merupakan negara demokrasi dengan penduduknya yang besar. Netralitas pemerintah dan jaminan kebebasan memilih menjadi tolak ukur.
Dalam hal ini, langkah dan kebijakan Presiden Jokowi dalam even besar tersebut, jelas akan menjadi perhatian utama dunia.
Jika Presiden Jokowi mampu memosisikan diri secara tepat sesuai harapan publik dalam dan luar negeri, maka beliau akan dikenang sebagai presiden yang sukses dan dikenang selamanya. Sebaliknya jika gagal memenuhi harapan publik dalam dan luar negeri, maka keberhasilannya akan dilupakan dan lebih parah lagi Indonesia akan terpuruk.
Memang tidak mudah bagi Presiden Joko Widodo bersikap netral sepenuhnya karena terkait hubungan emosiional dengan puteranya yang kini sedang menjadi Cawapres. Ada seorang Kiai yang membisikkan ketelinga saya agar Presiden Jokowi selama Pilpres berlangsung agar “mengambil cuti" dan memberikan kepercayaan atau tanggung jawab kepada Wapres KH Ma'ruf Amin sampai masa Pilpres selesai. Barangkali hal ini patut direnungkan.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.
Advertisement