Kepedulian NU Harus Imbang, Keagamaan dan Kemasyarakatan
Katib Am PBNU KH Yahya Cholil Staquf mengingatkan, suatu organisasi bisa terjebak dalam kejumudan, tumpul, tak terarah, bahkan tak melakukan apa-apa selain mengeloni SK Kepengurusan.
Mengutip hasil survei Alvara terbaru, Gus Yahya mengatakan, 36 persen populasi Muslim di Indonesia mengaku sebagai anggota NU. Lebih 50 persen berafiliasi kepada NU; dan sekitar 70 persen menempatkan NU pada “top of mind” mereka.
"Dengan rentang pengaruh seluas itu, NU dalam posisi memikul tanggung jawab terbesar dalam mengukir wajah masyarakat," tuturnya.
Gus Yahya, panggilan akrabnya, dalam seminar dengan tema “Positioning dan Strategi Transformasi NU dalam Dinamika Milenial” diselenggarakan Ikatan Keluarga Besar Alumni (IKBAL) MA Ma’arif NU Assaadah dan Institut Agama Islam (IAI) Qomaruddin, Gresik, di Aula Yayasan Pondok Pesantren Qomaruddin, Bungah Gresik, pada Minggu, 1 Desember 2019.
Menurutnya, bila NU membiarkan diri sekadar menjadi obyek yang larut saja dalam arus agenda-agenda yang dibuat entah siapa di luar sana. Tanpa kehendak apalagi kemampuan untuk bernegosiasi secara desisif agar ikut menentukan arah dinamika masyarakat. Hal itu, sama halnya NU menyia-nyiakan amanah yang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah diletakkan ke pundaknya.
"NU harus berjuang membangun kapasitas untuk hadir secara lebih bermakna di tengah masyarakat. Untuk itu, NU harus sungguh memahami jati dirinya, memahami kedudukannya di tengah keseluruhan konstelasi dan dinamika masyarakat, memahami kepentingan-kepentingannya, memahami tujuan, membangun strategi, menetapkan target-target dan agenda-agenda," tutur Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang ini.
Jam’iyyah Diiniyyah Ijtimaa’iyyah. Pola pikir orang NU di berbagai tingkatan, baik pengurus maupun warga, didominasi oleh wawasan yang menjadikan hampir seluruh energi dicurahkan untuk kepedulian keagamaan, sementara masalah-masalah sosial-ekonomi dan berbagai hal yang menyangkut hajat hidup masyarakat kurang mendapat perhatian.
Padalah telah dinyatakan bahwa khidmah (pengabdian) NU harus memiliki dimensi ganda, yaitu keagamaan dan kemasyarakatan.
Menurut Gus Yahya, lebih memprihatinkan lagi, wawasan tentang khidmah keagamaan pun cenderung terkungkung pada hal-hal yang menyangkut peribadatan dan dimensi agama sebagai identitas kelompok.
Dominasi pola pikir ini menjadikan NU sensitif terhadap isu-isu sektarian (pertentangan antar-madzhab) tapi kurang tanggap terhadap masalah-masalah masyarakat yang dianggap bukan masalah agama.
Wacana dan kegiatan-kegiatan menentang radikalisme disambut dengan penuh semangat bukan semata-mata karena kesadaran tentang bahaya radikalisme itu sendiri, tapi dibayangbayangi juga oleh gairah menegaskan identitas keagamaan di hadapan kelompok madzhab yang berbeda.
Sementara itu, isu-isu “duniawi” yang tak kalah penting, seperti kebutuhan koreksi terhadap struktur ekonomi yang timpang, pengendalian kerusakan alam akibat eksploitasi ekonomi, sistem hukum yang digerogoti korupsi, kebangkrutan etika dan moral dalam politik, dan sebagainya, nyaris tak mendapatkan perhatian.
Orang NU harus mengembalikan pola pikir kepada idealisme yang mula-mula sebagai jam’iyyah diiniyyah ijtimaa’iyyah, organisasi keagamaan serta kemasyarakatan. Mengembalikan keseimbangan antara kepedulian terhadap masalah-masalah keagamaan dan kepedulian terhadap masalah-masalah kemasyarakatan.
Advertisement