Kepatuhan Pada Hukum, Indahnya Ajaran Islam
"Islam datang menegakkan kembali hukum dan keadilan. Jika pembesar berbuat curang, maka ia harus dihukum. Semua sama di depan hukum." Demikian Prof Nadirsyah Hosen, Ph.D.
Untuk memperdalam masalah ini, berikut pandangan lengkap Gus Nadir, Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School:
Nabi SAW bersabda: “jikalau seandainya Fatimah putriku mencuri, niscaya aku potong tangannya” (HR Bukhari-Muslim). Rusaknya tatanan hukum, bila hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Tentu Fatimah az-Zahra tidak pernah mencuri. tapi pengandaian yang Nabi berikan itu menohok semua pihak. Nabi tidak akan melindungi keturunannya sendiri jikalau seandainya keturunan beliau, darah daging beliau, melakukan tindak kriminal.
Bahkan dikisahkan dalam kitab Subul al-Salam, keadilan dan persamaan hukum itu juga berlaku tak pandang bulu. Inilah salah satu kisah yang menggetarkan bagaimana ajaran Islam berdiri kokoh menopang keadilan dan asas persamaan di depan hukum sejak seribu empat ratus tahun yang lalu.
Syuraih meminta Khalifah Ali mendatangkan dua orang saksi, maka beliau pun kemudian memanggil Qanbara (bekas budak beliau) bersama Hasan (putra beliau). Setelah didatangkan dua saksi, lantas Syuraih berkata: “Untuk saksi Qanbara, kami bisa menerimanya. Tetapi untuk saksi putra anda, kami tidak bisa menerimanya.”
Suatu hari, Khalifah Ali bin Abi Thalib kehilangan baju besinya yang jatuh dari untanya. Beliau melihat baju itu di tangan seorang Yahudi. Beliaupun berseru kepada orang Yahudi itu: “Wahai, Fulan. Itu adalah baju besiku yang tempo hari jatuh dari untaku”.
Orang Yahudi menjawab: “Ini baju besiku, karena sekarang ada di tanganku,” tetapi orang Yahudi itu berkata lagi: “Sudahlah! Permasalahan ini biar diselesaikan oleh hakim saja.” Lantas keduanya pergi ke Syuraih yang saat itu menjabat sebagai Qadhi/Hakim. Syuraih sendiri diangkat oleh Khalifah Ali. Tapi apa Syuraih langsung tunduk pada Khalifah dan memenangkannya? Tidak. Syuraih menempuh prosedur hukum acara yang sama.
Syuraih meminta Khalifah Ali mendatangkan dua orang saksi, maka beliau pun kemudian memanggil Qanbara (bekas budak beliau) bersama Hasan (putra beliau). Setelah didatangkan dua saksi, lantas Syuraih berkata: “Untuk saksi Qanbara, kami bisa menerimanya. Tetapi untuk saksi putra anda, kami tidak bisa menerimanya.”
Sebagai seorang anak, tentu kecenderungannya adalah membela sang Ayah. Maka kesaksian Sayyidina Hasan tidak bisa diterima oleh Syuraih karena unsur kekerabatan. Saksi harus adil. Ini yang dipegang oleh Syuraih.
Khalifah Ali mencoba berargumen dengan mengatakan bahwa putranya Hasan adalah pemuka penduduk surga, sesuai Hadis dari Nabi yang didengar oleh Umar Bin Khattab. Bagaimana mungkin seorang seperti Sayyidina Hasan ditolak menjadi saksi? Syuraih tetap menolaknya karena bukan masalah surga-neraka yang merupakan urusan akherat, akan tetapi ini ada prosedur hukum yag harus ditempuh dan dikuti semua pihak yang berpekara, termasuk Khalifah sendiri.
Kealiman pribadi, hafal Qur’an, menyandang predikat keturunan Nabi, semuanya sama di depan hukum dengan seorang Yahudi. Yang menjadi ukuran adalah keadilan dan ketidakberpihakan saksi serta validitas bukti yang disodorkan dalam ruang pengadilan.
Satu saksi tidak bisa diterima, maka kalahlah Khalifah Ali. Karena saksi itu harus dua. Beliau tidak bisa membuktikan baju besi yang berada di tangan Yahudi itu miliknya. Siapa yang menuduh, dia yang harus membuktikan. Khalifah menuduh baju besi di tangan Yahudi milik sang khalifah. Ketika Khalifah gagal membuktikan tuduhannya, maka yahudi pun menang.
Apa Syuraih kemudian dipecat? Tidak. Apa Khalifah Ali menggerakkan aksi massa menuduh Hakim menistakan menantu Nabi dan melecehkan cucu Nabi karena menolak kesaksiannya? Tidak. Apa Khalifah Ali terus kabur ke negara lain? Tidak lah mas bro 🙂
Khalifah Ali menerima keputusan Hakim. Secara substansi beliau benar, namun secara prosedur hukum beliau tidak bisa membuktikannya, sehingga beliau kalah. Dan ini diterima oleh Khalifah.
ٍSingkat cerita, Yahudi ini terpesona dengan ajaran Islam yang menegakkan keadilan dan persamaan hukum. Yahudi tidak bisa membayangkan bagaimana seorang khalifah yang merupakan menantu Nabi, yang mendatangkan saksi seorang cucu Nabi, malah kalah di pengadilan. Walhasil Yahudi tersebut masuk islam, dan Khalifah Ali menghadiahkan baju besi miliknya yang sah itu kepada Yahudi. Yahudi yang sudah masuk Islam ini kelak ikut berjuang dan terbunuh di perang Shiffin. Kisah yang menggetarkan ini berakhir dengan indah.
Pesan moral dari Sabda Nabi soal putrinya, dan dari kisah Khalifah Ali sangat jelas: meskipun keluarga Nabi kalau berurusan dengan hukum semua diperlakukan sama dan harus mengikuti prosedur hukum. Datang ke Pengadilan, panggil saksi dan hadirkan bukti, lantas patuhi apapun keputusan Hakim.
Khalifah Ali tidak menantang Yahudi atau Hakim untuk melakukan mubahalah. Sang Khalifah mengajarkan satu hal penting: patuhi hukum. Inilah keindahan ajaran islam.
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Advertisement