Kepala Daerah Dipilih Anggota DPRD?
Wakil Ketua MPR Mahyudin setuju dengan wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) tak langsung atau melalui DPRD.
"Dengan dipilih DPRD biaya untuk jadi kepala daerah itu murah, bahkan boleh dibilang gratis," kata Mahyudin di sela sosialisasi Empat Pilar MPR di Bontang, Kalimantan Timur, Selasa 10 April 2018.
Selain itu, kata Mahyudin, pengawasan juga lebih mudah karena tinggal mengawasi para anggota DPRD, misalnya, apabila dikhawatirkan terjadi politik uang.
"Kalau anggota DPRD ada seratus, KPK tinggal turunkan 200 orang, satu anggota DPRD diawasi dua orang, pasti tak terjadi suap," ucapnya.
Dengan demikian, lanjut Mahyudin, akan benar-benar terpilih kepala daerah yang berkualitas dan berkomitmen membangun daerahnya.
Menurut dia, harus diakui pilkada langsung menelan biaya politik yang besar. Kalaupun tetap dipertahankan, biaya penyelenggaraan, termasuk biaya kampanye dan saksi tidak dibebankan kepada calon.
Ia mencontohkan di satu kabupaten di Jawa Barat memiliki 70 ribu tempat pemungutan suara. Jika untuk biaya saksi per TPS sebesar Rp100 ribu maka dibutuhkan Rp7 miliar.
"Itu biaya saksi saja. Jadi, begitu mahal biaya demokrasi kita. Itu yang menyebabkan banyak kepala daerah akhirnya terjerat kasus korupsi," ujarnya.
Menurut dia pilkada langsung di tengah pendapat per kapita yang masih menengah bahkan rendah tidaklah efektif.
Sementara itu di tempat terpisah Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menegaskan lembaganya tidak pernah mengusulkan agar Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
"Kami tegaskan hal tersebut tidak benar. KPK tidak pernah menyimpulkan apalagi mengusulkan agar Kepala Daerah dipilih oleh DPRD," kata Febri di Jakarta hari Selasa.
Menurut Febri, korupsi dapat terjadi saat Kepala Daerah dipilih oleh DPRD ataupun dipilih oleh rakyat secara langsung.
"
Jadi, tidak tepat jika kami mengkambinghitamkan sistem Pilkada langsung yang sudah kita pilih sebelumnya sebagai salah satu bentuk proses demokrasi di Indonesia seolah sebagai penyebab korupsi," ucap Febri.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa apabila biaya kontestasi politik tinggi yang jadi masalah, maka tentu hal itu yang harus diselesaikan.
"Bukan justru kembali ke masa lalu dengan menyerahkan pemilihan Kepala Daerah pada anggota DPRD setempat," ungkap Febri.
Apalagi saat ini, kata dia, sekitar 122 anggota DPRD telah diproses KPK dalam kasus korupsi dan pihaknya sudah membuktikan dalam sejumlah kasus yang ditangani bahwa kewenangan pembentukan regulasi, anggaran, dan bahkan pengawasan diselewengkan dengan imbalan sejumlah uang.
"Kami tentu harus lebih cermat dan mendalam dalam melakukan kajian sebelum menyimpulkan sesuatu," kata Febri.
Sebelumnya, DPR dan pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri sepakat akan mengevaluasi pelaksanaan Pilkada langsung, yang sudah berjalan sejak 2015, 2017, dan akan berlangsung pada 2018, apakah memberikan dampak positif bagi masyarakat.
"Terkait Pilkada langsung, kami evaluasi ternyata banyak masalah yang dihadapi. Kami minta kelompok masyarakat untuk melihat kembali apakah Pilkada langsung memberikan manfaat bagi masyarakat," kata Ketua DPR RI Bambang Soesatyo usai menerima kunjungan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (6/4).
Ia mengatakan, jika Pilkada langsung memberikan manfaat maka silahkan dilanjutkan, namun kalau tidak maka perlu dievaluasi karena institusinya tidak mau pelaksanaan Pilkada menyebabkan perpecahan masyarakat.
Selain itu menurut dia, dalam Pilkada, korupsi semakin banyak karena biaya politik tinggi, misalnya, untuk mendapatkan tiket maju dalam kontestasi Pilkada.
"Untuk mendapatkan tiket saja harus mengeluarkan biaya yang luar biasa besar, belum biaya kampanye, biaya saksi dan biaya penyelenggaraannya hampir Rp18 triliun," ujarnya.
Bambang mengatakan setelah pelaksanaan Pilkada 2018, institusinya akan mengevaluasi pelaksanaan semua Pilkada lalu hasilnya akan dikembalikan kepada masyarakat. (ant/rr)