Kenikmatan Hidup Meneladani Ulama Pesantren
Para kiai dan ulama pesantren, merupakan panutan umat Islam di Nusantara. Tentu dalam hal beribadah, mereka itulah yang telah mengajar kepada masyarakat bagaimana tata cara shalat, tata cara beribadah lainnya dalam aktivitas keagamaan Islam.
Lebih dari itu, para ulama pesantren juga menjadi rujukan masyarakat awam dalam pelbagai aktivitas sehari-hari. Keteladanan para kiai dan ulama pesantren, hingga masih tetap terpelihara di tengah masyarakat yang terus berubah.
Berikut di antara catatan kecil, tentang eksistensi KH Maimoen Zuber (almaghfurlah), Pengasuh Pesantren Al-Anwar, Sarang Rembang, dan KH Ahmad Mustofa Bisri, Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, Jawa Tengah. (Redaksi)
Suatu hari saya memerlukan sowan kepada salah satu guru saya, memohon izin untuk melanjutkan ngaji Lughot Ibroni dan Suryani, saya memohon petunjuk kepada beliau kepada siapa hendaknya saya berguru.
Jawaban beliau sangat mengejutkan; "Merasa cukup dengan ilmu yang telah dingajikan itu tidak baik, tapi cukupkanlah dirimu dengan ilmu yang selama ini telah kau kaji"
Dawuh yang telah berpuluh tahun itu masih saya simpan dalam jiwa saya sampai sekarang insyaalloh, dan saya mensyarahi dawuh beliau seperti apa yang selama ini saya jalani hingga kini, dalam mencari ilmu tetap saya lakoni, tetapi tidak sampai menggebu-gebu seperti dulu, tak ada target apapun kecuali tabarruk dan tanawwur dari para kiai, bahkan membaca adalah hal yang sulit saya pisahkan dari dalam hidup saya. Sekadar baca, tidak memaksakan diri untuk selalu faham dengan apa yang saya baca, tidak faham ya dilewatkan saja.
Hingga sampailah pada sebuah kesederhanaan dalam berqudwah, bukan berarti menafikan tauladan dari para kiai lain, tetapi cukuplah Gus Mus (KH Ahmad Mustofa Bisri) dan Mbah Moen (KH Maimoen Zuber, almaghfurlah) sebagai tokoh yang saya usahakan terikat dalam hati saya. Mencintai beliau berdua, menghormati, mendoakannya, memungut hikmah, dan berusaha menauladniya adalah sebuah kenikmatan yang tak bisa diungkapkan dengan kata kata.
Dalam soal ilmu dan laku, siapakah yang meragukan beliau berdua? Mbah Moen adalah Sang Shufi Tua yang yang tak pernah berhenti memancarkan ilmu dan hikmah langka, dan Gus Mus adalah orang yang dawuhnya Mbah Yai Cholidien Qosiem "sebagai orang yang ilmunya tidak menjadi sampah di jiwanya" (saya meyakini dawuh ini dengan yakin begitu saja), atau saya memahami dawuh beliau sebagai orang yang tidak diribetkan oleh pengetahuan, sederhana dalam kemanusiaannya, sehingga beliaupun tampil sebagai manusia biasa saja di hadapan siapa saja.
Entahlah, semenjak kewafatan istri beliau, saya sering bersedih, merasa kasihan, bahkan ketika saya tulis tulisan ini, berderai air mata saya dipermainkan oleh perasaan sayang saya kepada beliau, siapa yang menyiapkan baju beliau pada saat harus berganti baju, siapa yang mengingatkan beliau dan menyiapkan ubo rampe di saat beliau akan berpergian, siapakah yang menyiapkan makan dan minuman beliau saat buka dan sahur dan lain sebagainya.
Bukannya saya meremehkan atau tidak mempercayai kesigapan putra-putri beliau dalam hidmahnya, tetapi mengingat ada hal-hal yang hanya bisa diperankan oleh seorang istri kepada suami, semua itu membuat hati saya menjadi pilu, dan bukan pula saya menganggap beliau adalah manusia cengeng yang suka merengek, meminta minta, dan suka dilayani keperluannya, tetapi justru saya meyakini beliau adalah manusia yang tidak suka ada manusia lain menjadi repot sebab dirinya, justru karena itulah, alangkah lelahnya beliau menjalani hari harinya.
Robbuna Ya Karim.....
Sehatkanlah beliau selalu dan panjangkanlah usianya, agar saya dan manusia lain masih diberi kesempatan untuk mereguk hikmah kemanusiaan yang beliau sebarkan......
Salam Mbengok ToniBoster (fb: Zainal Wong Wongan)