Kenapa Anies Merasa Pribumi, Ternyata Ini Jawabnya
ORIENTALIS MEMISAHKAN PRIBUMI DAN ISLAM
Oleh : Ahmad Kholili Hasib.
Islam ya Jawa. Jawa ya Islam.
Menguatnya Islam di Jawa membuat Belanda dan gerakan orientalisnya tidak suka. Mereka ingin memisahkan Islam dan Jawa.
Ini karena zaman abad ke-8 banyak keturunan Arab yang menyebarkan agama Islam di Indonesia yang mampu manyatu dengan pribumi. Asimilasi berlangsung berabad-abab lamanya. Anak cucu secara turun-temurun hasil pernikahan Arab dan Jawa ini menjadi penduduk pribumi.
Bahkan menurut Hamid al-Ghadri jauh sebelum zaman penjajahan keturunan Arab disebut juga pribumi (Hamid al-Gadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Penjajah,hal.39).
Pribumi dan Islam ini yang ditakutkan oleh Belanda.Dalam suratnya kepada pengurus Pusat Nederlandsche Zendings Vereeniging,D.J. van der Linden pada 8 Mei 1863 mengatakan: “Agama Islam di pulau Jawa ini bukan seperti pohon yang tidak berbunga lagi. Bahkan sebaliknya, tahun demi tahun buahnya bertambah banyak. Orang Jawa masih merasa yakin bahwa agama Islam memenuhi kebutuhannya. Dia belum siap. Itulah sebab utama kurang berhasilnya perkabaran Injil di pulau Jawa selama ini” (Th. Van den End, Sumber-Sumber Zending Tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat 1858-1963 dalam Muhammad Isa Anshory, Mengkristenkan Jawa, hal.44).
Hal yang paling ditakuti penjajah Belanda adalah kaum pribumi yang memeluk Islam taat dan berhubungan dengan orang-orang Arab. Orang-orang Jawa yang naik haji biasanya diawasi ketat oleh Belanda. Pada akhir abad XIX jumlah pribumi Muslim yang naik haji meningkat tajam, seiring dengan adanya kemudahan-kemudahan untuk melakukan ibadah haji.
Orang-orang Jawa yang naik haji sangat dihormati rakyat. Biasanya orang yang naik haji menghabiskan waktu yang lama di Makkah. Sebagian di antara jamaah haji memanfaatkan ziarah ke tanah Haramain untuk belajar agama kepada para ulama di sana. Sehingga, begitu pulang mereka memiliki tambahan pengetahuan agama dari tanah Haramain.
Belanda berupaya melepaskan hubungan pribumi dengan Arab Islam dengan tujuan untuk mempertahankan tanah jajahan mereka di bumi Nusantara. Orientalis Belanda memisah-misahkan antara Jawa, Arab dan Cina. Ketika Jawa dipisahkan dari Arab, Belanda memiliki tujuan politis dan ideologis.
Secara ideologis, memisahkan Jawa dengan Arab, berarti memisahkan Jawa dengan Islam. Dampak pemisahkan ini berbau politis, yaitu agar Belanda mudah menaklukkan orang Jawa. Sebab, kekuatan pribumi dan Jawa itu ketika mereka memeluk dan taat kepada ajaran Islam. Maka dibuatlah kesan dengan cara studi dan riset, bahwa identitas Jawa itu bukan Islam tapi abangan, animism dan dinamisme. Padahal, dahulu sebelum penjajahan jika disebut Jawa atau Melayu, maka asosiasinya adalah Muslim.
Salah satu strategi orientalis Belanda memisahkan pribumi dengan Islam dan Arab adalah dengan mengajukan teori kedatangan Islam yang kita sebut “Indian-Centris”. Orientalis bernama Pajnapel dan Snouck Horgronye mengatakan bahwa Islam di Indonesia bukan berasal dari Arab tapi dari India.
Peran Arab dalam Islamisasi dikecilkan. Horgronye, yang pernah menjabat sebagai penasihat penjajah Belanda pada masa kolonial, berpendapat bahwa selama empat abad pimpinan agama Islam di Indonesia berada di tangan orang India dan baru pada abad XVI pengaruh Arab mulai masuk ke Indonesia. Menurutnya, tradisi mistisme Walisongo di Jawa itu sifatnya non-Arab. Maksudnya, tradisi Islam di Indonesia lebih cenderung kepada India daripada Arab (Hamid Al-Gadri,Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Penjajah,48). Dia menyatakan bahwa dai pelopor di Jawa adalah India bukan Arab.
Pendapat Horgronye diikuti Morisson yang berpendapat bahwa Islam Indonesia berasal dari sebuah pelabuhan di India yaitu pantai Koromandel. Ia menjadi pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang Muslim dalam pelayaran mereka menuju Nusantara. Tome Pires mendukung teori ini. Menurutnya kebanyakan orang terkemuka di Pasai Aceh adalah orang Benggali (India Selatan) atau keturunan mereka. Bukan orang Arab (Idrus Alwi al-Masyhur,Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Keturunan Nabi Saw di Indonesia, hal. 98).
Sebenarnya, dasar dari teori tersebut berangkat dari aspek geografis saja. Bahwa leluhur Wali Songo datang ke Indonesia dengan bertolak dari sebuah wilayah di India. Berangkat dari pendapat ini mereka kemudian menarik kesimpulan bahwa etnis yang datang adalah India bukan Arab.
Teori orientalis tersebut dicurigai bermuatan kepentingan penjajahan atas wilayah Indonesia. Menonjolkan India dan meminggirkan Arab lebih menguntungkan penjajah Belanda. Tidak lain adalah untuk menciptakan citra negatif untuk Arab di Nusantara. Kemungkinan ini karena pada zaman kolonialisme banyak keturunan Arab yang menentang pendidikan Barat. Sama halnya golongan santri yang anti pendidikan sekuler ala Belanda.
Belanda melakukan politik ini karena melihat pengaruh keturunan Arab pada zaman revolusi ternyata cukup besar. Ia berupaya menutup-nutupi agar kajian-kajian sejarah dan buku-buku tidak banyak mengungkapkannya. Padahal, peran keturunan Arab membela kemerdekaan Indonesia cukup besar. Dr. GSSJ Ratu Langie, pernah mengatakan: “Dapat dimengerti bahwa gerakan keturunan Arab begitu cepat diterima dalam gerakan nasional”. Hal ini bisa dimengerti, sebab sejak berabad-abad lamanya — termasuk zaman Wali Songo — keturunan Arab selalu menyatu dengan pribumi.
Keberadaan keturunan Arab cukup ditakuti Belanda. Thomas Stamford Raffles pernah mengaku bahwa tiap orang Arab dan orang-orang pribumi yang kembali dari ibadah haji dari Makkah dianggap ‘keramat’. Sangat mudah menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda dan menjadi komponen masyarakat yang dianggap membahayakan kepentingan Belanda (Thomas Stamford Raffles,History of Javadalam Hamid Al-Gadri,Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Penjajah,hal 39).
Dengan demikian, sasaran dari politik pemisahan antara pribumi dengan Arab oleh orientalis sebetulnya adalah memisahkan pribumi dengan Islam. Islam memang bukan Arab. Keliru jika kita katakana bahwa setiap Arab itu Islami. Yang benar, Islam mengandung unsur-unsur Arab. Ketika unsur-unsur ini dihilangkan maka Islam kehilangan fundamennya.
Kiai Muhammad Idrus Ramli, kiai muda NU asal Jember, berpendapat bahwa sentiment terhadap bangsa Arab disebarluaskan oleh dua kelompok yaitu orientalis dan Syiah dengan tujuan tertentu. Pertama, oleh kaum orientalis yang sudah barang tentu diikuti oleh kaum liberal pada hari ini. Kedua, disebarkan oleh orang-orang Syiah. Karena Syiah adalah suatu aliran yang lahir dari ras Persia.
Pada abad ke-10 H, terjadi pergolakan politik Sunni-Syi’ah, yang diwakili oleh perseteruan antara Daulah Utsmaniyah yang Sunni dengan Dinasti Shafwiyah yang Syiah. Kebencian terhadap hal yang berbau Arab pun disebarkan. Sehingga hal ini menggerakkan seorang ulama besar di Makkah pada waktu itu, yaitu al-Imam Syihabuddin Ibnu Hajar al-Haitama untuk menulis kitabnya yang berjudul Mablaghul Arab fi Fakhril ‘Arab. Pada abad ke-14 seorang ulama Irak bernama Syaikh Mahmud Syukri al-Alusi juga menulis kitab Bulughul Arab fi Ahwali al-‘Arab. Karena orientalis dan Syiah menyebarluaskan kebencian dan sentiment terhadap bangsa Arab, maka sebagian ulama kontemporer yang menulis kitab-kitab Sirah Nabi memaparkan keutamaan bangsa Arab seperti yang dilakukan oleh Syaikh Abul Hasan Ali al-Hasani al-Nadwi dan Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi (kutipan dari pendapat Kiai Idrus dengan penulis pada tanggal 26 Juni 2015).
Islamisasi juga bukan Arabisasi. Prof. Wan Mohd Wan Daud berpendapat, selain menyerap istilah-istilah bahasa Arab, Islamisasi juga dilakukan dengan mengadaptasi dengan bahasa lokal. Bukan mengubah menjadi Arab semua. Islamisasi juga bukan gerakan ‘anti’ tapi memilih-milih mana yang sesuai dengan pandangan hidup Islam. Islamisasi melibatkan kata-kata kunci bahasa Arab,seperti Allah, Rasul, dan Malaikat, al-Kitab dan lain-lain. Tapi Islamisasi juga menggunakan kata-kata pra Islamic dengan makna baru. Istilah-istilah pra-Islamic yang diislamkan maknanya misalnya adalah kata “Tuhan”, “dosa”, “surga”, “neraka”, “budhi” dan lain-lain. Islamisasi adalah mengubah kata-kata pra-islamic dengan makna worldview Islam. (*) (wawancara dengan Prof. Dr. Wan Mohd Wan Daud pada 19 Mei 2014).
http://inpasonline.com/pribumi-islam-dan-orientalis/