Kenangan Menjelang Idul Adha
Menjelang Idul Adha tahun 2009, saya minta bantuan keponakan saya, Hasan Ali bin H. Thoifuri untuk mengantar beberapa kambing kurban ke Habib Ali bin Sholeh Al-Atthas (shahibul Maulid Ad-Diba’i ), ulama terkemuka Bekasi waktu itu, sekarang telah almarhum. Saya berpesan minta Habib Ali Sholeh agar mendoakan pensiun dengan selamat dan berkah karena awal Mei tahun itu umur saya 60 tahun.
Mendengar pesan keponakan saya, Habib Ali kaget menyebut asma Allah dan berteriak agak keras: “Orang lain minta perpanjangan jabatan, saudara saya yang satu ini sebaliknya. Kok minta pensiun. Baru kali ini terjadi, benar- benar santri tulen".
Setelah itu beliau berdoa dan diamini oleh jamaah yang hadir. Keponakan saya tidak bisa memahami makna seluruh doa yang dilafazkan oleh Habib Ali karena dalam bahasa Arab yang halus alias fushah. Beberapa hari kemudian Habib Ali menelpon saya, katanya “Saudaraku, kalau jabatan Pak As'ad diperpanjang jangan ditolak karena itu sudah takdir Allah SWT".
Beberapa hari kemudian, Ka-BIN pak Samsir Siregar meminta saya menemani beliau ke istana untuk menghadap presiden. Singkat kata, Presiden menyerahkan SK Perpanjangan selama 2 tahun. Kemudian saya memberanikan diri menyampaikan “bahwa menurut aturan umur 60 tahun harus pensiun pak“. Beliau menjawab bahwa beliau sudah menandatangani perubahan peraturan: "khusus untuk BIN dan Bank Indonesia boleh sampai 62 tahun”.
Pada awal 2010, saya dipanggil oleh Rais ‘Aam PBNU Kiai H Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh yang kharismatik dan sangat berwibawa. Beliau menanyakan kapan pensiun?
Lalu saya ceritakan tentang keputusan Presiden untuk memperpanjang jabatan. Beliau kemudian berkata dengan mantab, "Kalau Bapak kamu masih hidup dan Pakde kamu (Kiai H Baedlowi Siradj) masih ada, saya yakin, beliau berdua akan marah. NU memerlukan pemikiran kamu setelah Muktamar Makassar (2010) nanti".
Beliau mengatakan hal itu dengan tegas. Benar apa yang beliau katakan. Saya diangkat menjadi Wakil Ketua Umum PBNU mendampingi KH Said Agil Siroj. Bukan berarti KH Sahal Mahfudh menentang Keputusan Presiden tetapi demi kemasalahan umat dan negara. "Saya yakin, Presiden yang santun akan menghormati keputusan para ulama," kata KH Sahal Mahfudh. Dan sesuai dengan aturan maka saya harus melepaskan jabatan Wakil Kepala BIN dengan hati lapang; menerima takdir.
Akhirul kalam
Belum lama ini, saya saat berada di kantor, di Jakarta. Berpose dengan memegang foto Hadratusy Syaikh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari (almaghfurlah), tokoh besar pendiri NU dan deklarator Fatwa Jihad NU melawan tentara Inggris dan NICA yang mendarat di Surabaya pada 1945, sehingga meletus perang yang dikenang sebagai Hari Pahlawan setiap 10 November.
Sejak dulu hingga saat ini, ada sejumlah pihak yang berusaha menghilangkan jejak perjuangan NU dalam membela dan menegakkan NKRI.
Dua tahun lalu, nama Hadlratusy Syaikh dicoret dari Kamus Sejarah Perjuangan oleh tokoh dari kelompok “Kiri Baru". Gerakan Kiri Baru berpusat di Eropa Barat dan di Amerika Serikat (Partai Demokrat) yang memperjuangkan visi kebebasan yang merujuk pada sekularisme - individualisme dan menganggap agama urusan pribadi serta kebebasan ala Barat misalnya dukungan terhadap legalisasi kawin sejenis.
Foto Hadlratusy Syaikh Hasyim Asy'ari (almaghfurlah) merupakan simbolisme keterlibatan perjuangan NU dalam menegakkan dan membela NKRI yang berdasarkan UUD '45 dan Pancasila, sehingga harus kita jaga.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.
Advertisement