Kenalkan Budaya Aksara Jawa Kuno Melalui Pameran Seni Nawasena
Bahasa jawa kuno atau disebut dengan Jawa Kawi, adalah rumpun bahasa jawa tertua yang dituturkan di bagian Tengah dan Timur Pulau Jawa, termasuk di beberapa daerah Pulau Madura dan Bali.
Aksara Jawa Kawi seringkali ditemui di prasasti, candi atau bangunan kuno peninggalan kerajaan pada tahun 750 Masehi, sebelum abad ke 13. Aksara Jawa kuno berkembang menjadi aksara Jawa pertengahan mulai abad ke 13, lalu menjadi aksara Jawa modern sekitar abad ke 15 hingga sekarang.
Namun seiring perkembangan zaman modern, bahasa Jawa Kawi kini ditinggalkan bahkan tidak digunakan lagi dalam kegiatan tulis menulis sehari-hari.
Menanggapi hal tersebut, salah satu anggota Perempuan Pengkaji Seni, Syska Liana berniat mengenalkan kembali aksara Jawa kuno melalui pameran seni Nawasena, yang digelar di Rumah Budaya Malik Ibrahim, Sidoarjo. Pameran tersebut dibuka sejak Sabtu, 4 hingga 26 Mei 2024.
Syska Liana melihat di Sidoarjo banyak sekali seniman berpotensi. Menurutnya, aksara kawi yang dipamerkan disini tidak hanya berbentuk lukisan saja, tetapi ada upaya penyajian lain seperti dari material lontar, penerangan, instalasi, dan lain sebagainya.
“Alasan kami memilih lontar sebagai media pameran aksara kawi adalah karena pada zaman dahulu, belum ada kertas dan leluhur kita menggunakan daun lontar untuk menulis,” ucap Syska kepada Ngopibareng.id, Sabtu 4 Mei 2024.
Pameran seni tersebut sengaja dikolaborasikan dengan beberapa bahan material seperti kayu, bambu, besi, dan lampu-lampu penerangan penuh warna. “Hal tersebut agar kaum milenial modern seperti sekarang ini lebih mudah memahami sehingga kami kolaborasikan dengan lampu warna-warni tapi tak menghilangkan sisi budaya aksara kawi nya,” imbuhnya.
Masih dikatakan Syska, Pameran seni tersebut diikuti oleh 15 seniman yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di antaranya Sidoarjo, Surabaya, Solo, dan Jogja. Terdiri dari 7 seniman laki-laki dan 8 seniman perempuan. “Disini kita juga memprioritaskan kesetaraan gender. Ini merupakan contoh yang baik karena peserta perempuan dan peserta laki-laki seimbang,” papar Syska.
Sementara itu, Satriagama Rakantaseta sebagai Kurator memaparkan, Nawasena sendiri artinya masa lalu untuk hari ini dan masa depan. Pameran tersebut sebetulnya adalah representasi umum antara budaya aksara kawi dengan budaya Jawa saat ini.
“Tanpa kita sadari, kita kehilangan jati diri kita. Yang ada hanya tinggal bahasa, itu pun jika dituliskan pakai aksara latin, bukan tulisan Jawa kuno (kawi),” kata Seto, panggilan akrabnya.
Menurutnya, seiring dengan kecanggihan komunikasi dan teknologi modern saat ini, tanpa di sadari memberikan jarak yang sangat jauh dengan budaya aksara kawi.
“Nah, jarak inilah yang kita pamerkan disini. Kitanya harus sadar dulu tentang esensi budaya leluhur. Kita membahasakan kembali apa itu budaya dan apa itu tradisi,” tutupnya.