Kemerdekaan Pers Dikritik, Bisnis pun Harus Sehat
Anggota Dewan Pers, Ahmad Jauhar, mengatakan, ketergantungan finansial media-media pers lokal pada pemerintah daerah dengan memanfaatkan dana APBD sangat tinggi. Hal itulah yang kini menjadi hal yang harus dicermati.
“Setiap tahun ada banyak perusahaan pers yang mengajukan diri untuk diverifikasi Dewan Pers. Tujuannya cuma satu, agar bisa mendapatkan iklan pemerintahan. Itu saja. Ini fakta. Padahal semangat verifikasi bukan itu,” ujar Ahmad Jauhar.
Jauhar mengungkapkan hal itu, dalam diskusi kelompok terfokus bertema “Menjaga Kemerdekaan Pers dengan Bisnis yang Sehat”melibatkan multistakeholder media digelar di Universitas Surabaya, Kamis, 25 Juli 2019.
Forum digelar atas kerja sama Dewan Pers bersama PPMN, Pusat Studi Hukum Universitas Surabaya dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, menyadari urgensinya permasalahan pers, khususnya di Jawa Timur. Para pihak yang mempunyai perhatian terhadap pers, memandang penting untuk mendiskusikan dan mencari jalan keluar menghadapi persoalan ini, baik dari segi politik, ekonomi maupun hukum.
Diskusi melibatkan organisasi profesi jurnalis, serikat pekerja media, pimpinan media massa, akademisi, pengacara publik sampai aktivis di Jawa Timur. Diskusi terfokus ini diharapkan bisa memetakan permasalahan yang dihadapi sekaligus solusi.
Diskusi diawali dengan pemaparan tiga pemantik, yakni anggota Dewan Pers, Ahmad Jauhar; akademisi Universitas Airlangga, Herlambang Wiratraman dan CEO ngopibareng.id, Arief Afandi (mantan Wakil Wali Kota Surabaya dan mantan Pemred Jawa Pos).
“Setiap tahun ada banyak perusahaan pers yang mengajukan diri untuk diverifikasi Dewan Pers. Tujuannya cuma satu, agar bisa mendapatkan iklan pemerintahan. Itu saja. Ini fakta. Padahal semangat verifikasi bukan itu,” ujar Ahmad Jauhar.
Forum ini mendiskusikan dampak dari ketergantungan finansial media pers pada kelompok kuat terhadap kualitas kemerdekaan pers.
Sejauh ini disadari, jurnalisme dan pers berkepentingan untuk mengamankan perannya sebagai ‘watch dog’ terhadap kekuasaan. Selain itu, jurnalisme berperan sebagai penyedia kebutuhan informasi publik maka monopoli atas media pers tidak dapat dibenarkan.
Menerima terjadinya monopolisasi atas sarana komunikasi hanya akan menegaskan bahwa ‘kebebasan berinformasi dan berekspresi adalah kebebasan dari mereka yang memiliki media massa’.
Sudah cukup lama berbagai studi menunjukkan gejala didominasinya media massa di Indonesia oleh sekelompok oligark, baik bisnis maupun politik praktis. Implikasi dari dominasi ini pun semakin terasa. Independensi dan kebebasan jurnalis dalam menyebarkan informasi lambat laut terhambat.
Survei IKP selama tiga tahun terakhir menunjukkan, kemerdekaan pers dari ‘kelompok kuat’ belum sepenuhnya terjamin. Survei itu menempatkan posisi Provinsi Jawa Timur di lima terbawah berkenaan dengan kemerdekaan pers.
“Kami berkomitmen bagaimana mengembangkan media massa dan jurnalis agar bisa menjaga ruang redaksi dari intervensi. Intervensi itu nyata dan datang dari kekuatan bisnis dan politik pemilik media,” kata Eni Mulia, Direktur Eksekutif Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), dalam keterangan diterima ngopibareng.id, Kamis 25 Juli 2019.
“Kami berharap, forum ini mampu membuat komitmen menjaga ruang redaksi agar tetap independen dalam melayani kepentingan publik sesuai semangat kebebasan pers,” kata Eni menambahkan.
Eni mengungkapkan, kasus yang paling mencolok adalah terbelahnya hampir semua media terkait Pemilu yang dimulai sejak pemilihan presiden 2014 dan terus berlanjut hingga saat sekarang. Kepentingan pemilik media yang ikut berkontestasi dalam politik praktis, menjadi bukti nyata pelanggaran kode etik jurnalistik. Jurnalis pun mendapatkan tekanan dan pada akhirnya publik tidak bisa menerima informasi yang berkualitas dan bisa dipercaya.
Survei Indeks Kebebasan Pers di Jawa Timur, menunjukkan, pemilik media pers seringkali melakukan intervensi terhadap ruang redaksi. Pada titik ujung-terlemah, apa yang perlu diberitakan untuk kepentingan publik dapat dikalahkan dengan kepentingan bisnis dan politik pemilik media.
Menurut survei Indeks Kemerdekaan Pers 2018, salah satu tantangan besar bagi kemerdekaan pers di provinsi Jawa Timur menyangkut kemerdekaan dari kelompok kepentingan yang kuat.
Kondisi ini memang sangat ironi. Pasalnya, Indonesia umumnya dan Jawa Timur hidup dan menerapkan sistem demokrasi sejak tumbangnya rezim Orde Baru. Namun, gelombang demokratisasi yang salah satu simbolnya adalah pemilihan umum secara langsung dan pers yang bebas, ternyata tidak sejalan dengan semangat kebebasan pers.
“Intervensi ruang redaksi oleh kekuatan bisnis dan kepentingan politik, menjadi penyebabnya,” tutur Eni.
Sementara itu, Yovinus Guntur, perwakilan dari Serikat Pekerja Lintas Media atau SPLM mendorong agar perusahaan media tidak membebani jurnalisnya dengan kewajiban mencari iklan. Seringkali, ada sanksi dari perusahaan media yang jurnalisnya tidak memperoleh iklan sesuai target.
“Tugas jurnalis itu mencari berita, bukan iklan. Semangatnya adalah, jurnalis harus independen. Jadi kami berharap di forum ini ada perlindungan bagi jurnalis, baik itu soal profesi maupun dari sisi ketenagakerjaannya,” kata Yovinus. (adi)