Kemendikbud Ristek dan KPAI Tangani Siswa Penganut Saksi Yehuwa
Tim gabungan Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turun tangan menangani kasus 3 kakak beradik tidak naik kelas selama 3 tahun berturut-turut. Ketiganya merupakan peserta didik di SDN 051 Kota Tarakan, Kalimantan Utara.
Ketiga Kakak Beradik tersebut bernama M, 14 tahun, kelas 5 SD; Y, 13 tahun, kelas 4 SD; dan YT, 11 tahun, kelas 2 SD. Mereka tidak naik kelas pada tahun ajaran 2018/2019; lalu tahun ajaran 2019/2020; dan tahun ajaran 2020/2021. Setelah ditelusuri, tiga bersaudara pada tahun 2018 pindah agama dari Kristen ke Saksi Yehuwa.
Atas peristiwa tersebut, Itjen KemendikbudRistek membentuk tim gabungan untuk pemantauan langsung ke Tarakan dan mencari solusi bagi kepentingan terbaik ketiga anak tersebut.
Komisioner Komisi Perlindunda Anak Indonesia (KPAI) Retno Restryarti, mengatakan, informasi yang diterima tim pemantau, tidak naik kelas pertama adalah pada tahun ajaran 2018/2019, ketiga anak sempat dikeluarkan dari sekolah selama sekitar 3 bulan lamanya. Alasan tidak naik pertama adalah absensi tidak memenuhi syarat, ada sekitar 90 hari ketiga anak dianggap tidak hadir tanpa keterangan, padahal ketidakhadiran mereka karena sempat dikeluarkan dari sekolah selama 3 bulan.
“Keputusan Pengadilan TUN memenangkan gugatan atas nama ketiga anak tersebut, keputusan PTUN dalam kasus tidak naik kelas yang pertama kali ini sudah inkracht," ujarnya.
Sedangkan keputusan tidak naik kelas yang kedua kalinya yang dialami ketiga anak tersebut adalah pada tahun ajaran 2019/2020. Adapun penyebab tidak naik kelas yang kedua, karena nilai agama ketiga anak nol atau tidak ada nilainya. Hal ini disebabkan ketiganya tidak mendapatkan pelajaran agama. Sekolah beralasan tidak ada guru agama untuk Saksi Yehuwa, padahal Saksi Yehuwa oleh Kementerian Agama dimasukan dalam bagian pendidikan agama Kristen. Jadi seharusnya, ketiga anak berhak mendapatkan pendidikan agama Kristen di sekolahnya.
“Keputusan Pengadilan TUN pada tingkat pertama dimenangkan oleh ketiga anak tersebut, namun Dinas Pendidikan Kota Tarakan banding dan memenangkan pengadilan banding. Pihak penggugat kemudian melakukan kasasi dan keputusan kasasi belum ada. Artinya belum inkracht hingga November 2021,” ungkap Retno.
Adapun kasus tidak naik kelas yang ketiga kalinya terjadi pada tahun ajaran 2020/2021, kali ini penyebab ketiga anak tidak naik kelas adalah nilai agama yang tidak tuntas, sementara nilai seluruh mata pelajaran yang lain sangat bagus.
Ketiga anak mengaku mengikuti semua proses pembelajaran pendidikan agama Kristen di sekolahnya. Selalu mengerjakan semua tugas yang diberikan, termasuk ulangan/ujiannya. Bahkan nilai-nilai pengetahuannya selalu tinggi nilainya. Namun, saat nilai praktik, ketiga anak tidak bersedia menyanyikan lagu rohani yang ditentukan gurunya karena bertentangan dengan akidahnya, dan meminta bisa mengganti lagu yang sesuai dengan akidahnya.
“Kasus tidak naik kelas yang ketiga kalinya juga digugat ke Pengadilan TUN, pengajuan perkara baru dilakukan pada Oktober 2021. Saat ini masih dalam proses persidangan”, ungkap Retno.
Tim Gabungan mengunjungi rumah ketiga anak korban, pada Senin 22 November 2021, untuk mendengarkan suara anak dalam kasus yang menimpa mereka selama tiga tahun berturut-turut.
Ketika tim bertanya apa harapan atau keinginan ketiga anak, mereka menjawab “hanya ingin naik kelas”. Saat ditanya apa lagi harapannya? Jawabannya kurang lebih sama, hanya ingin naik kelas. Ketiganya juga ingin tetap bersekolah di SDN 051 Kota Tarakan
Ketiga anak menyatakan kehilangan semangat belajar jika nanti akan mengalami tidak naik kelas lagi untuk keempat kalinya.
Tim melakukan wawancara dengan Ibu Dh selaku guru Pendidikan Agama Kristen yang diperbantukan di SDN 051 Tarakan karena penugasan beliau sebenarnya di SDN 043 Tarakan. Di SDN 051, hanya mengajar 4 siswa termasuk ke-3 anak korban. Tim juga mewawancarai ibu D, guru PJOK yang juga menjadi Pembina Agama Kristen.
Ketika tim bertanya pendapat Dh selalu guru ketiga anak korban, di jawab anak-anak itu pintar, bahkan nilai-nilai pengetahuan sering mendapat 100 (nilai sempurna). Selain itu ketiga anak korban juga berkelakuan baik dan sopan. Hal senada juga dikemukakan oleh ibu D selaku pembina agama Kristen.
Nilai pendidikan agama anak korban tidak tuntas (pada rapor tidak naik kelas ke-3 kalinya), karena nilai praktik tidak ada (namun nilai kognitif/pengetahuan tinggi dan nilai afektif/sikap baik), lantaran ketiga anak korban menolak bernyanyi lagu rohani yang judulnya ditentukan oleh guru pendidikan agama Kristen, alasannya bertentangan dengan akidahnya.
Orangtua sempat meminta ijin untuk anaknya diperkenankan menyanyikan lagu rohani yang sesuai akidahnya, namun tidak diperkenankan. Alasan penolakan guru adalah berpedoman pada kurikulum pendidikan agama Kristen, padahal Kompetensi dasar (KD) dalam kurikulum pendidikan agama Kristen justru tidak menentukan judul lagu rohani. Misalnya Silabus mata pelajaran pendidikan agama Kristen kelas 4 SD, pada KD 4.6 berbunyi : “Menyanyikan lagu rohani anak-anak yang menunjukkan ucapan syukur atas dirinya, keluarga, teman, dan alam ciptaan Tuhan”.
"KD tersebut sama sekali tidak menentukan judul lagu rohani yang harus dinyanyikan oleh peserta didik", ungkap Retno.
Saat pengawasan di sekolah, ada beberapa usulan untuk solusi, di antaranya adalah usulan dari Jarwoko, Kepala LPMP Kalimantan Utara yang mengusulkan ketiga anak tetap diberikan pembelajaran agama dari guru agama Kristen, namun hanya aspek kognitif/pengetahuan dan aspek afektif/sikap. Sedangkan aspek Psikomotorik/Praktik/ketrampilan di serahkan kepada komunitas agama ketiga anak tersebut, agar tidak ada lagi perdebatan soal akidah.
Selain itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Tarakan juga mengusulkan ketiga anak dinaikkan kelas, hanya untuk keputusan tidak naik kelas yang ke-3, di mana anak-anak akan mengikuti remedial terlebih dahulu untuk nilai yang tidak tuntas, yaitu nilai pendidikan agama saja, mengingat nilai mata pelajaran lain tuntas bahkan dengan nilai tinggi.
Retno mempertanyakan apakah diskriminasi atas dasar agama minoritas ini akan dilanggengkan terus di negeri Pancasila yang sangat majemuk ini? Padahal, anak-anak belum bisa memilih agama baginya, anak pasti mengikuti agama orangtuanya.
Sejatinya para pihak dalam mengambil keputusan harus mengedepankan hak ketiga anak untuk memperoleh pendidikan.