Guru Sekolah Negeri Dilarang Wajibkan Siswa Pakai Atribut Agama
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melarang guru agama mewajibkan siswa mengenakan atribut keagamaan termasuk memakai jilbab selama jam mata pelajaran agama. Hal ini sejalan dengan SKB 3 Menteri yang tak membolehkan sekolah negeri mewajibkan atau melarang atribut agama.
"Tugas guru agama memang mengajarkan secara kognitif materi-materi yang terkait agama. Diharapkan ajaran-ajaran itu bisa dipraktikkan anak-anak. Tapi dalam hal ini tetap tidak diperbolehkan menetapkan itu (atribut agama) sebagai kewajiban," kata Direktur PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Jumeri melalui video konferensi yang dipublikasikan Jumat 12 Februari 2021.
Menurutnya, keputusan memakai atribut agama ada di tangan siswa dan orang tuanya. Dalam hal ini, guru hanya dapat membimbing siswa dengan cara berdiskusi. Jumeri menyadari keputusan yang diambil pihaknya banyak menuai penolakan.
Jumeri menekankan pihaknya mengeluarkan peraturan tersebut karena perkara intoleransi dengan dalih aturan seragam sekolah sudah menjadi momok di dunia pendidikan. Menurutnya, aturan ini dikeluarkan sebagai respons dari kasus intoleran yang baru-baru ini mencuat.
"SKB 3 Menteri diterbitkan setelah kasus siswi nonmuslim dipaksa menggunakan jilbab karena aturan seragam di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat, heboh diperbincangkan publik bulan lalu," terangnya.
SKB 3 Menteri tersebut ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, pada Rabu 3 Februari 2021.
Menanggapi pernyataan Direktur PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo, mengatakan, terbitnya SKB 3 Menteri yang menuai kontroversi tersebut sebaiknya bukan sekadar reaksi atas peristiwa di Padang.
"Jangan sampai SKB ini hanya sebagai tindakan reaktif pemerintah untuk meredam gejolak yang muncul dari kasus tersebut tanpa kajian dan tindak lanjut untuk menyelesaikan tindakan intoleran dalam bentuk lainnya di sekolah," ujar Heru, Jumat 12 Februari 2021.
Seperti yang disampaikan Menag pada saat peluncuran SKB ini, apa yang terjadi di SMK Negeri 2 Padang merupakan puncak gunung es dari budaya intoleran di sekolah. "Kami berkeyakinan hadirnya SKB ini tidak akan cukup untuk menyelesaikan tindakan intoleran di sekolah.” kata Heru.
Menurut Sekjen FSGI tersebut, peristiwa yang terjadi di SMK Negeri 2 Padang bukanlah satu-satunya tindakan intoleran dalam penggunaan seragam sekolah. FSGI mencatat sedikitnya ada 10 Kasus yang terungkap ke publik sekitar tahun 2014-2021, yaitu :
1. SMAN 2 Denpasar 2014, Larangan siswa menggunakan jilbab lewat Tata Tertib sekolah. Tidak disebutkan secara eksplisit pada aturan tersebut, tetapi siswa yang menggunakan seragam berbeda dianggap melanggar aturan sekolah.
2. SMAN 5 Denpasar 2014, Melarang siswa menggunakan tutup kepala lewat pengumuman membuat siswa yang ingin menggunakan jilbab mengurungkan niatnya.
3. SMPN 1 Singaraja 2014, Melarang siswa menggunakan jilbab secara terang-terangan.
4. SMAN 1 Maumere, Sikka 2017, Siswa yang berjilbab dilarang menggunakan rok yang panjang. Melanggar ketentuan dianggap pelanggaran.
5. SD Inpres 22 Wosi Manokwari 2019, Ada aturan tidak tertulis tetapi berupa imbauan secara lisan larangan menggunakan jilbab. Aturan sudah ada sejak sekolah berdiri.
6. SMAN 2 Rambah Hilir, Rokan Hulu 2018, memberlakukan aturan tidak tertulis, berupa imbauan secara lisan untuk menggunakan jilbab. Dianggap sebagai budaya sekolah sejak sekolah berdiri.
7. SMPN 3 Genteng Banyuwangi 2017, Peraturan sekolah mewajibkan siswa untuk menggunakan jilbab meski non-muslim. Aturan ini sudah dicabut oleh Bupati Banyuwangi saat itu.
8. SDN Karang Tengah 3 Gunung Kidul 2019 Kepala Sekolah mewajibkan siswa baru, kelas I, menggunakan seragam muslim. Pada tahun ajaran berikutnya seluruh siswa wajib menggunakan seragam muslim.
9. SMAN 1 Gemolong Sragen 2020 Siswa dipaksa menggunakan jilbab oleh pengurus ROHIS.
10. SMKN 2 Padang 2021 Siswa diwajibkan menggunakan busana muslim sesuai dengan Perda yang dibuat oleh Walikota sejak tahun 2005.
“Jika dianalisis, kejadian pelarangan dan kewajiban menggunakan jilbab ini terjadi setelah reformasi yang beriringan dengan tumbuhnya politik identitas di Indonesia. Diikuti oleh arogansi mayoritas terhadap minoritas, karena selama masa orde baru daerah-daerah terkekang dengan kekuatan sentralisasi pemerintah pusat. Apalagi di masa orde baru penggunaan jilbab di sekolah benar-benar dilarang sampai dengan tahun 1991. Sehingga pertentangan antara kewajiban dan larangan penggunaan jilbab hampir tidak muncul ke permukaan,” ujar Heru.
FSGI menemukan bahwa telah muncul misinformasi terkait kehadiran SKB 3 Menteri ini di kalangan publik yang disebarkan lewat media sosial. Pro kontra yang sangat tajam plus ketidakpercayaan terhadap pemerintah termasuk Mendikbud membuat misinformasi ini tersebar dengan masif.
“Pro kontra yang terjadi tidak bisa dipandang sebelah mata, bahkan dikhawatirkan dapat menjadi amunisi tindakan intoleran lainnya”, ujar Fahriza Marta Tanjung, Wakil Sekjen FSGI.
“Di lingkungan saya, dan saya menyimak melalui grup-grup WhatsApp, banyak orang tua yang khawatir, terutama yang menyekolahkan anaknya di Madrasah. Mereka khawatir jika madrasah seperti MI, MTs maupun MA jangan-jangan juga akan dikenakan aturan yang sama. Akan diberi kebebasan memilih untuk menggunakan jilbab atau tidak,” ucap Slamet Maryanto, Guru SMAN 38 Jakarta.
Hal senada diungkapkan oleh Nihan, Kepala SMA Negeri 3 Kabupaten Seluma, Bengkulu, yang menuturkan, “ Jika di sekolah saya, orang tuanya beranggapan bahwa penggunaan jilbab dilarang sama sekali. Bahkan ada yang beranggapan bahwa siswa diberi hak sebebas-bebasnya untuk menentukan bentuk dan jenis seragam sekolahnya. Sebagai Kepala Sekolah, tentunya saya belum bisa memberikan klarifikasi karena belum disosialisasikan.”
Sementara itu, Kepala SMPN 52 Jakarta, Heru Purnomo mengungkapkan, bahwa sebelum keluarnya SKB 3 Menteri, sebagian sekolah itu ada yang mewajibkan bagi siswa yang menggunakan jilbab, agar menggunakan jilbab yang ada logo sekolahnya.
“Lalu Ini bagaimana? Apa mau dilarang pakai jilbab berlogo sekolah, karena jangan sampai kami divonis melanggar SKB tersebut. Padahal, Kami tidak mewajibkan siswa untuk berjilbab?" tambah Heru.
Selain itu, ada juga keresahan pada para guru yang mengampu pelajaran agama Islam, karena guru Pendidikan Agama Islam tersebut selama ini mewajibkan penggunaan jilbab pada peserta didik yang memengikuti mata pelajaran agama islam.
”Jadi hanya diwajibkan kepada siswi yang sehari-hari tidak menggunakan jilbab. Artinya hanya saat pembelajaran tatap muka khusus pelajaran agama Islam, apakah ini termasuk pelanggaran”, ujar Eka Ilham, Kepala Divisi Litbang FSGI.
Dalam SKB ditentukan juga bahwa sekolah dan daerah diberikan waktu dalam 30 hari ke depan untuk mencabut aturannya yang melarang atau mewajibkan seragam sekolah dengan atau tanpa kekhasan agama tertentu.
“Namun, jika waktunya 30 hari sejak ditandatangani pada 4 Februari 2021, menurut FSGI hal tersebut sulit di laksanakan di lapangan, mengingat sebagian besar sekolah saat ini masih Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), bagaimana kontrol pemerintah dalam 30 hari ke depan, sementara sistem pengawasan dan siapa yang melakukan pengawasan, belum di atur dalam SKB 3 Menteri tersebut,” urai Retno Listyarti, Dewan Pakar FSGI.
Advertisement