Kemenangan Biden: Vero Possumus!
Joseph Robinette Biden Jr. (Joe Biden) adalah politisi senior dalam politik Amerika Serikat. Pada tahun 1988, Joe Biden mencalonkan diri sebagai kandidat Presiden, namun pencalonannya tidak berhasil. Namun pada pemilihan presiden 2020, dia berhasil memenangkannya bersama Kamala Harris sebagai wakilnya.
Pembelajaran terpenting dari Pemilihan Umum Presiden (pilpres) AS tahun 2020 ini adalah tentang ambisi kekuasaan kandidat presiden dan kejernihan berpikir pemilih. Pilpres tahun ini digelar di tengah masa pandemi Covid-19 dan buruknya mitigasi pandemi Covid-19 di bawah komando Donald Trump. Hal ini yang menjadi salah satu kunci kemenangan Biden pada pilpres tahun ini. Tercatat Biden menggarap isu utama dalam kampanyenya pada koridor kritik terhadap penanganan Covid-19 di bawah kepemimpinan Trump. Ada beberapa penjelasan terhadap kemenangan Biden dalam pilpres kali, namun tidak kalah penting adalah penjelasan atas soliditas para pemilih Trump.
Antara Progresivitas dan Moderasi
Biden adalah politisi yang cukup moderat, dengan pengalamannya yang panjang dalam dunia politik AS. Dia adalah gambaran representatif terhadap mayoritas politisi senior. Namun, kemenangan Biden tahun ini tidak didukung oleh isu-isu yang moderat, tapi mayoritas suara yang diraih berasal dari kalangan progresif. Selama kepresidenan Trump, kelompok progresif telah melakukan gerakan yang cukup signifikan bahkan mampu membawa isu impeachment pada fase persidangan di Senat dan DPR (House). Masih belum lama ini juga, gerakan massa melawan represi aparat negara terhadap kelompok minoritas juga mewarnai permulaan pilpres.
Biden sebagai mantan wakil presiden sebenarnya sudah menyatakan diri untuk pensiun dari politik. Bahkan pada pilpres 2016 setelah kematian putranya, Biden menolak untuk mengikuti rangkaian nominasi kandidat presiden oleh Partai Demokrat yang berakhir pada nominasi Hillary Clinton sebagai kandidat Presiden dari Partai Demokrat. Dia juga enggan untuk terlibat aktif dalam usaha untuk mengkritisi kebijakan Trump. Dia mulai tertarik untuk mencalonkan diri sebagai kandidat presiden pada 2017-2018 ketika banyak media meminta komentarnya terhadap kepresidenan Trump. Secara formal, dukungan awal terhadap pencalonan Biden adalah titik temu antara kelompok progresif dan kelompok moderat yang dipersatukan oleh senses of duty yang dimiliki oleh Biden. Kepemimpinan Biden diharapkan menjadi jembatan antara dua faksi utama dalam Partai Demokrat, yaitu kelompok progresif dan moderat.
Biden dalam kampanyenya selalu mengklaim dirinya adalah politisi yang progresif. Hal ini digunakan sebagai nilai fundamental dalam melawan kampanye Trump yang sedari awal menempatkan posisi paradigma politiknya pada konservatisme. Jargon “Make America Great Again” adalah manifestasi dari konservatisme tersebut. Biden tidak bisa menjadi moderat dalam kampanye tahun ini. Realitasnya, kepresidenan Trump diwarnai banyak sekali persoalan, dan tentunya kebingungan atas kebijakan-kebijakan impulsif. Peristiwa penting yang mengubah landscape politik Amerika Serikat adalah gerakan solidaritas atas kasus George Floyd, pemuda kulit hitam yang tewas ditangan polisi. Kekuatan terbesar atas kampanye Biden adalah memanfaatkan gerakan ini untuk memosisikan paradigma politiknya pada arah yang lebih progresif. Hal inilah yang paling berkontribusi terhadap kemenangan Biden.
Isu Ekonomi dan Covid 19
Trump masih mempertahankan narasi tentang keterpurukan Amerika Serikat dalam aspek ekonomi dimana isu ini yang membuat basis massa pendukungnya masih kuat pada pilpres tahun ini. Sentimen terhadap China (RRC) diikuti dengan perang dagang AS-RRC adalah inti dari isu kampanye yang diangkat Trump. Mayoritas masyarakat AS memang masih dikuasai oleh narasi konservatif, terutama didaerah yang populasinya didominasi oleh ras kulit putih. Battleground dalam pilpres kali ini hanya beberapa negara bagian, yaitu Michigan, Wisconsin, Pennsylvania, Nevada, Georgia, Minnesota, Florida, Texas, Arizona dan North Carolina.
Pada detik akhir penghitungan suara, kemenangan Biden hanya ditentukan oleh lima negara bagian penentu yaitu Michigan, Wisconsin, Pennsylvania, Arizona dan Nevada. Secara elektoral, perolehan suara GOP (Grand Old Party, Partai Republik) masih dominan di daerah sub-urban. Namun, kemenangan Partai Demokrat pada daerah urban/perkotaan mampu membalik perolehan suara karena padatnya populasi di area tersebut. Konsekuensi secara elektoral adalah selisih suara pada negara bagian penentu ini sangat kecil, dan Trump bisa menggugatnya atau malah meminta perhitungan ulang.
Seperti yang kita lihat mayoritas dukungan Trump memang identik dengan kalangan konservatif yang mendambakan kejayaan Amerika Serikat dimasa lampau, utamanya dominasi Amerika Serikat di sektor industri. Kalangan konservatif telah lama dimarginalkan oleh kebijakan progresif Amerika Serikat belakangan ini yang fokus pada imigrasi dan investasi asing yang secara ekonomi berdampak pada pemindahan basis produksi ke negara lain serta serapan tenaga kerja yang menurun.
Biden masih belum mampu memfokuskan kampanyenya pada isu ekonomi. Kampanye isu ekonomi hanya berfokus pada program-program normatif yang selama ini diangkat oleh kandidat presiden lainya. Isu yang diangkat diantaranya adalah jaminan dan akses kesehatan, program pengentasan kemiskinan dan tentunya isu progresif tentang lingkungan yang kurang populer pada kalangan konservatif. Dengan begini, bisa dikatakan bahwa arah kebijakan ekonomi Biden akan lebih akomodatif dan fokus pada pemulihan ekonomi akibat perang dagang AS-RRC dan pandemi Covid-19. Kebijakan yang akomodatif ini juga akan membantu Biden dalam menciptakan stabilitas politik dan elektoral dikemudian hari.
Isu utama yang menjadi penentu lain kemenangan Biden dalam kampanye dan debat kandidat adalah isu Covid-19. Biden melaksanakan metode kampanye digital dan kemasan yang lebih modern dalam rangka mematuhi protokol kesehatan. Metode kampanye inilah yang mampu menaikkan partisipasi politik di Amerika Serikat juga mampu menarik simpati kalangan milenial. Dalam kampanye di tengah pandemi ini juga mampu meningkatkan sensibilitas tentang kesehatan sekaligus mengkritisi kebijakan penanganan Covid-19 oleh Trump yang dinilai buruk oleh banyak pihak.
Biden banyak melontarkan kritikan bahwa AS sebagai negara maju, faktanya justru tertinggal dalam menurunkan tingkat kematian akibat Covid-19 dan tingkat penularan penyakit tersebut. Bahkan, Biden mengemukakan kritikan keras atas skeptisisme Trump terhadap pakar kesehatan dan tentunya terhadap kecilnya keterlibatan pakar kesehatan dalam pengambilan kebijakan terkait isu Covid-19. Puncak kekalahan Trump adalah ketika dia terinfeksi Covid-19 pada Oktober 2020. Hal ini juga diperparah dengan beberapa pejabat Gedung Putih yang juga terinfeksi akibat Covid-19. Publik AS banyak yang menilainya tidak lagi kapabel dalam memimpin diakibatkan kejadian ini. Sensibilitas terhadap isu ini yang membuat Biden mampu meraup banyak suara pada kantong-kantong suara GOP.
Proyeksi Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat di Asia Tenggara
Dengan kegagalan mega-regionalime Amerika Serikat melalui Trans-Pacific Partnership (TPP), kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Asia Tenggara mengalami depresiasi nilai yang signifikan, utamanya pandangan para pemimpin di Asia Tenggara dalam pasifnya politik luar negeri Amerika Serikat di Kawasan ini. Trump telah memberikan stigma yang negatif terhadap politik luar negeri Amerika Serikat di Kawasan Asia Tenggara. Dominasi China dalam isu-isu fundamental di kawasan Asia Tenggara ini menjadi meningkat seiring dengan melemahnya pengaruh Amerika Serikat di kawasan ini. Salah satu kritikan keras disampaikan oleh PM Malaysia Mahatir Muhammad, yang mengkritik tentang kapabilitas Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Hal ini tentunya menjadi gambaran bagaimana pesimisme negara-negara Asia Tenggara dalam melihat prospek politik luar negeri Amerika Serikat.
Sejalan dengan gagalnya TPP akibat kebijakan luar negeri Trump yang pasif di Asia Tenggara, terpilihnya Biden sebagai Presiden juga akan didominasi oleh pesimisme para pemimpin negara Asia Tenggara. Tantangan Biden bukan hanya didasarkan pada regionalisme di Asia Pasifik saja, tapi juga bagaimana dominasi militer Amerika Serikat ditingkatkan dalam rangka mengimbangi dominasi militer China. Satu isu yang bisa di fokuskan oleh Biden di bidang militer adalah konflik Laut China Selatan. Banyaknya negara Asia Tenggara yang terlibat dalam konflik ini tidak membuat posisinya seimbang. Perimbangan kekuatan hanya dimungkinkan ketika Amerika Serikat terlibat aktif dalam konflik ini. Trump memang meningkatkan kapasitas militer Amerika Serikat di Pasifik, akan tetapi pengaruhnya masih tidak sepadan dengan pengaruh militer China di Asia Tenggara. Biden memiliki tantangan bukan hanya meningkatkan kapasitas militer Amerika Serikat tetapi juga meningkatkan keterlibatan terhadap konflik Laut China Selatan.
Tantangan kedua adalah bagaimana mengembalikan semangat regionalisme Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara. Faktanya, pada kepresidenan Trump, Amerika Serikat cenderung menarik diri dari kerja sama regional di Asia Pasifik. Konsekuensinya banyak kerja sama regional kemudian berjalan tanpa partisipasi Amerika Serikat. Kekosongan inilah yang dimanfaatkan China untuk mendominasi kawasan Asia Tenggara. Dengan kondisi ini, sudah tentu kebijakan Biden akan tetap sama dengan Trump dalam hal perang dagang China-AS. Biden akan terus melangsungkan perang dagang ini untuk mempertahankan supremasi Amerika Serikat dalam ekonomi global. Tentunya dengan signifikansi peran Amerika Serikat di Asia Tenggara. Signifikansi peran Amerika di kawasan Asia Tenggara tidak bisa diwujudkan hanya dengan mempertahankan perang dagang dengan China tapi juga memperbaharui komitmen terhadap kerja sama regional yang telah berlangsung baik melalui ASEAN, TPP maupun RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership).
Tantangan terakhir yang akan dihadapi oleh Biden, adalah tantangan tradisional yang dihadapi oleh para presiden Amerika Serikat sebelumnya. Yaitu promosi demokrasi dan liberalisasi di kawasan Asia Tenggara. Prospek demokrasi di Asia Tenggara menunjukkan tren yang kurang positif, karena banyak terjadi penurunan kualitas demokrasi akibat dinamika politik internal di masing-masing negara. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara bahkan masuk dalam kategori demokrasi illiberal dan kategori demokrasi otoriter. Ini menjadi masalah yang cukup berat bagi Biden, apalagi ditambah dengan peninggalan Obama yang cukup progresif bagi demokratisasi di Asia Tenggara. Promosi demokrasi dan demokratisasi harus diwujudkan lewat program komprehensif dalam berbagai macam aspek, utamanya aspek ekonomi. Tanpa komitmen yang kuat dalam perbaikan kondisi ekonomi negara-negara Asia Tenggara, prospek demokrasi akan terus mengalami penurunan. Komitmen ini bisa diwujudkan dengan Foreign Direct Investment (FDI) kepada negara-negara Asia Tenggara untuk mengimbangi FDI yang dilakukan China. Intensifikasi FDI oleh Amerika Serikat akan memberikan dampak yang cukup signifikan utamanya mengubah pesimisme pimpinan negara di kawasan Asia Tenggara. Perang dagang dengan China secara ekonomi adalah tantangan yang cukup memiliki prospek dan Amerika Serikat diharapkan mampu mengimbangi dengan FDI dan kerja sama strategis lain yang bisa menumbuhkan semangat demokratisasi di Asia Tenggara.
Vero Possumus dan Optimisme Kepresidenan Biden
Terpilihnya Biden memang menjanjikan prospek yang cukup optimis. Dengan tantangan yang akan dihadapi oleh Biden akibat dari kebijakan yang diambil oleh petahana dan tentunya Biden juga dituntut untuk mengembalikan sphere of influence politik luar negeri Amerika Serikat pada era Obama. Tantangan dan prospek ini sejalan dengan moto yang diangkat oleh Obama pada pilpres 2008 lalu Vero Possumus (Yes, We Can).
Optimisme ini harus dijawab Biden dengan segala kerumitan yang terjadi dalam dinamika politik nasional maupun global. Dengan dukungan kelompok progresif dalam kepresidenan Biden tentu kebijakan-kebijakan yang progresif pada masa yang akan datang. Tagline Vero Possumus awalnya diangkat oleh Obama karena sentimen rasial dan sentimen minoritas yang mengemuka pada pilpres 2008 silam. Kali ini moto Vero Possumus harus dikaitkan dengan kompleksitas atas singgungan tiga isu utama yang harus segera diselesaikan yaitu penanganan Covid-19, mengembalikan sphere on influence politik luar negeri AS dan perang dagang China-AS. Ketiga isu ini akan menjadi fokus kebijakan di awal kepresidenan Biden dan tentunya dengan optimisme yang ditawarkan olehnya sendiri, Vero Possumus Joe Biden!
Adhi Cahya Fahadayna
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Brawijaya
Alumnus Northeastern University, AS